KARYADALAM ANTOLOGI INDONESIA: 1968 : Angkatan 66 oleh H.B. Jassin, Penerbit GunungAgung, Jakarta. 1977 : Langit Biru Laut Biru oleh Ayip Rosidi, Penerbit Pustaka Jaya, Jakarta. 1979 : Cerita Pendek Indonesia oleh Satyagraha Hoerip, Penerbit Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud, Jakarta.
Hasil foto saya sendiri pada saat berkunjung ke Museum. Sumber Foto milik sendiriJumlah Halaman 178 halamanPenerbit PT. Gramedia Widiasarana Idonesia, JakartaKemarau merupakan salah satu novel karya Navis yang menceritakan sebuah kampung yang mengalami musim kemarau panjang. Tanah dan sawah retak karena cuaca yang sangat kering dan panas. Para petani semakin berputus asa atas musim kemarau yang panjang. Untuk mengatasi hal itu mereka pergi ke dukun untuk mendatangkan hujan, namun hasilnya tidak ada. Dan setelah tidak ada hasil, barulah mereka ingat pada Tuhan. Setiap malam mereka pergi ke masjid untuk mengadakan ratib, mengadakan sembahyang meminta hujan. Tapi hujan tak turun juga. Keadaan itu membuat penduduk tidak mau lagi menggarap sawah mereka. Namun, ada seorang petani yaitu Sutan Duano yang tidak bermalas-malasan. Dalam keadaan kemarau panjang ini, ia mengambil air di sebuah danau agar bisa mengairi sawahnya sehingga padinya tetap tumbuh. la berharap agar para petani di desanya mengikuti perbuatan yang ia lakukan. Namun, bukannya mengikuti perbuatannya, penduduk malah menganggap Sutan Duano gila karena mengambil air danau pada musim suatu hari, datanglah anak kecil sekitar umur 12 tahun bernama Acin menghampiri Sutan Duano yang sedang duduk. Dia bertanya mengapa Sutan Duano mengangkut air dari danau dan bercerita tentang orang yang tidak mau mengairi sawahnya pada saat musim kemarau. Setelah lama mereka berbincang Acin pun bekerja sama untuk mengambil air danau dan mengairi sawah mereka. Para penduduk yang melihat hal tersebut menganggap Sutan Duano sedang mencari perhatian kepada ibu Acin, yaitu Gundam janda enam tahun dengan dua orang anak. Mereka terus memperbincangkan Sutan Duano yang asal usulnya tidak jelas sambil bermain sore hari, ketika ia mengadakan pengajian di surau untuk kaum perempuan, Sutan Duano merasa sudah tiba saatnya untuk memengaruhi kaum perempuan untuk bergotong royong mengangkut air untuk membedakan mana sawah yang disiram dengan yang tidak disiram. Lalu ia berkata "meskipun manusia itu ada yang mengingkari Tuhan, kafir, munafik, tetapi kalau mereka giat berusaha, berani menantang kesulitan, mereka akan dapat lebih banyak dari orang yang malas, meski orang malas itu rajin sembahyang". Kemudian bercerita tentang susahnya orang zaman dahulu mempertahankan hidup dan kesulitan di negeri orang. Namun tetap saja hal itu tidak membuat penduduk setuju atas ajakan untuk mengairi Duano hampir putus asa akan hal tersebut. Apalagi para perempuan yang datang mengaji bukan untuk mendengarkan ceramahnya, melainkan mereka suka kepada Sutan suatu hari ia menerima surat dari anaknya yang berada si Surabaya. Anaknya meminta Sutan Duano untuk ke Surabaya. Dan berita itu pun meluas ke seluruh penduduk Mereka takjub bahwa Sutan Duano sudah memiliki anak yang kaya, bahkan mempunyai cucu. Padahal selama ini tak seorang pun tahu riwayat hidup dan asal-usulnya. Ini sebab Kutar membaca surat Sutan Duano merenungi masa lalunya, istrinya meninggal karena melahirkan anak keduanya, setelah itu dia kawin lagi tetapi istrinya tidak sebaik ibu Masri yang telah meninggal dan akhirnya cerai. Untuk mengisi kesepiannya, Sutan Duano bermain dengan perempuan malam dan Masri melihat hal tersebut dan marah kepada perempuan malam itu dan memukulnya sampai ia masuk penjara selama tiga bulan. Setelah ia keluar, dikampung itulah dia tobat. Sesampainya Sutan Duano di Surabaya, hatinya hancur ketika ia bertemu dengan mertua anaknya. Ternyata mertua anaknya adalah Iyah, mantan istrinya. Ia merasa kedatangannya adalah sesuatu yang sudah ditakdirkan, ia ingin meminta maaf atas perlakuannya di masa lalu. Dan akan memberitahu kepada anaknya tentang hubungannya dengan Iyah. Namun, Iyah sangat marah kepadanya dan mengusirnya, tetapi Sutan Duano tidak menyerah dan Iyah memukul kepala mantan suaminya itu dengan sepotong kayu. Kemudian Masri datang dan melihat Suan Duano bersimbah darah, Iyah merasa menyesal kemudian ia memberitahukan kepada Arni dan Masri bahwa Sutan Duano adalah mantan suaminya. Betapa terkejutnya Arni mendengarnya. Tak lama kemudian, Iyah meninggal dunia, sedangkan Sutan Duano pulang ke kampung halamannya dan menikah dengan Gundam, yaitu ibu dari dari novel ini terdapat banyak pesan moral dalam setiap ceritanya. Salah satunya, sifat dari tokoh Sutan Duano digambarkan dengan jelas, tokoh tersebut menyadarkan kita tentang begitu banyak hal yang seharusnya kita lakukan dan meninggalkan hal-hal yang tidak berguna. Di novel ini juga mengajarkan kita untuk bekerja keras, kita tidak boleh pasrah hidup kita kepada nasib, dukun, dan Tuhan. Lalu di novel ini juga mengajarkan kita untuk selalu mengingat dari novel ini hanya pada penggunaan bahasa yang sulit dipahami oleh masyarakat umum dan terdapat istilah asing yang saya tidak pahami.
Menurutdata Ismet Fanany, AA Navis sudah menulis 69 cerpen sampai akhir hayatnya pada 23 Maret 2003. Akan tetapi, hanya 68 cerpen yang berhasil ditemukan untuk dikumpulkan dalam buku Antologi Lengkap Cerpen A.A. Navis (2004). Satu cerpen yang masih belum ditemukan itu berjudul "Baju di Sandaran Kursi".
Skip to content BerandaProfilKeluargaPergaulanTak Suka DiamPandangan KebudayaanPandangan PendidikanPandangan KesusasteraanKarya SastraOtobiografiPengantarOtobiografiKarya & KegiatanPandangan TokohPerpustakaanCerpenNovelCerita RakyatPuisiMakalahArtikelGaleriFotoVideoKontributorKontribusi CerpenKontribusi PuisiKontribusi EsseiKontribusi FotoKontribusi ResensiKontakLogin Cerpen Cerpen2021-11-26T163159+0700 Cerpen“Gugatan sosial yang diajukannya itulah yang membuat karya-karya fiksi Navis menjadi bahan dokumentasi sosial’ yang sangat berharga dalam perkembangan sastra kita…”. KH. Abdulrahman Wahid, budayawan/mantan Presiden Republik Indonesia Lagu Kenangannyaadmin2022-03-31T232341+0700March 31st, 2022Cerpen Navis Lagu Kenangannya ALANGKAH bencinya aku pada lagu itu. [...]Read More 0 I b uadmin2022-05-30T132339+0700March 31st, 2022Cerpen Navis I b u IBU sangat menyayangi kami, [...]Read More 0 Mariaadmin2022-03-31T205558+0700March 31st, 2022Cerpen Navis M a r i a AIR Batang Antokan [...]Read More 0 Fragmenadmin2022-05-30T191111+0700February 26th, 2022Cerpen Navis Fragmen RENCANANYA Ben Virga, penyair itu, bangun [...]Read More 0 Ganti Lapikadmin2022-02-22T160256+0700February 22nd, 2022Cerpen Navis Ganti Lapik SUDAH sepuluh tahun lebih aku tak [...]Read More 0 Kisah Seorang Amiradmin2022-02-26T153153+0700January 18th, 2022Cerpen Navis Kisah Seorang Amir DI KAMPUNGKU banyak benar [...]Read More 0 12Next
Sastrawanbernama lengkap Ali Akbar Navis ini menghembuskan napas terakhirnya pada tahun 2013 karena komplikasi dan penyakit jantung. Meskipun ia wafat karya-karyanya tetap abadi seperti "Robohnya Surau Kami", Kemarau (1992), Saraswati Si Gadis dalarn Sunyi, (1970), dan lain lain.
Pendekatan objektif merupakan suatu pendekatan yang hanya menyelidiki karya sastra itu sendiri tanpa menghubungkan dengan hal-hal di luar karya sastra. Kritik objektif mendekati karya sastra sebagai sesuatu yang berdiri bebas dari penyair, audience, dan dunia yang mengelilinginya! Kritik itu menganalisis karya sastra sebagai sebuah objek yang mencukupi dirinya sendiri atau hal yang utuh, atau sebuah dunia dalam dirinya otonom, yang harus ditimbang atau dianalisis dengan kriteria “intrinsik” seperti kompleksitas, keseimbangan, integritas, dan saling hubungan antara unsur-unsur pembentuknya. Dalam artian, pendekatan objektif ini sama halnya dengan menganalisis unsur-unsur intrinsik dalam suatu novel. Unsur intrinsik adalah unsur pembangun karya sastra yang dapat ditemukan di dalam teks karya sastra itu sendiri. Sedangkan yang dimaksud analisis intrinsik adalah mencoba memahami suatu karya sastra berdasarkan informasi-informasi yang dapat ditemukan di dalam karya sastra atau secara eksplisit terdapat dalam karya sastra. Berdasarkan uraian tersebut penulis bermaksud membahas tema yang terkandung dalam novel Kemarau karya AA. Navis. Tema adalah gagasan makna dasar umum yang menopang sebuah karya sastra sebagai struktur semantis dan bersifat abstrak yang secara berulang-ulang dimunculkan lewat motif-motif dan biasanya dilakukan secara ekplisit. Penafsiran terhadap tema harus dilakukan berdasarkan fakta-fakta yang ada yang secara keseluruhan membangun cerita itu. Dimulai dari memahami tokoh utama yang biasanya “dibebani” tugas membawakan tema. Dalam sebuah cerita fiksi, lazimnya ada tokoh utama, konflik utama dan tema utama. Ada keterkaitan yang pada antara ketiganya. Pelaku atau pemilik konflik utama pasti adalah tokoh utama, dan disitulah umumnya letak tema utama. Melalui tokoh utamanya yaitu sutan Duano, penulis hendak memberikan gambaran mengenai sosok yang memiliki sifat dan karakter pekerja keras. Sutan Duano dikisahkan sebagai tokoh yang mempunyai niat dan semangat untuk mengubah kerangka berpikir warga kampung sekitar tempat tinggalnya. Ia berjuang untuk megubah watak masyarakat yang terbiasa menyerah pada takdir daripada bekerja keras `melawan nasib` guna memperbaiki kehidupannya. ”Hanya seorang petani saja berbuat lain. Ia seorang laki-laki sekitar 50 tahun. Badannya kekar dan tampang orangnya bersegi empat bagai kotak dengan kulitnya yang hitam oleh bakaran matahari. Pada ketika bendar-bendar tak mengalir lagi, sawah-sawah mulai kering matahari masih bersinar maraknya tanpa gangguan awan sebondong pun, diambilnya sekerat bambu. Lalu disandangnya di kedua ujung bambu itu. Dan dua belek minyak tanah dan digantungkannya di kedua ujung bambu itu. Diambilnya air ke danau dan ditumpahkannya ke sawahnya. Ia mulai dari subuh dan berhenti pada jam sembilan pagi. Lalu dimulainya lagi sesudah asar, dan berhenti waktu magrib hapmpir tiba. Dan beberapa kali mengangkut tak dilupakannya mengisi kedua kolam ikannya. Untungnya sawahnya yang luas itu tidak begitu jauh dari tepi danau. Laki-laki itu bernama Sutan Duano.” Navis, 20031-2. Melalui penggalan cerita Sutan Duano digambarkan secara jelas sebagai tokoh yang baik hati, pekerja keras, kreatif dan pantang menyerah. Kreatif, “... diambilnya sekeret bambu, lalu disandangnya di kedua ujung bambu itu. Diambilnya air ke danau dan ditumpahkannya ke sawahnya.” Navis, 1992 2 Pekerja keras, “... sisa umurnya dihabiskan dengan bekerja keras.“ Navis, 1992 3 Baik hati, “... disegani oleh semua orang. Tapi bukan karena kayanya. Melainkan karena kebaikan hatinya, dipercaya dan suka menolong setiap orang yang kesulitan.” Navis, 1992 5 Pantang menyerah, “Untuk kedua kalinya usaha Sutan Duano Kandas. Tapi, ia belum mau mengalah begitu saja.” Navis, 1992 15 Berdasarkan penggalan cerita tersebut maka sudah sangat jelas bahwa pengarang memang menempatkan sosok Sutan Duano sebagai sosok yang patut dicontoh dan dijadikan pendobrak paradigma tradisional yang hanya mengandalkan keyakinan di luar ajaran agama dan lebih memilih pasrah pada takdir ketimbang berusaha bekerja agar nasib dapat menjadi lebih baik. Kondisi masyarakat yang masih tradisonal dan memegang keyakinan di luar ajaran agama terlihat dalam Bab 1 tatkala pengarang membuat deskripsi latar cerita awal. ”Dan setelah tanah sawah mulai merekah, mulailah mereka berpikir. Ada beberapa orang pergi ke dukun, dukun yang terkenal bisa menangkis dan menurunkan hujan, Tapi dukun itu tak juga bisa berbuat apa-apa setelah setumpuk sabut kelapa dipanggangnya bersama sekepal kemenyan. Hanya asap tebal yang mengepul di sekitar rumah dukun itu terbang ke sawang bersama manteranya. ... Mereka pergilah setiap malam ke mesjid mengadakan ratib, mengadakan sembahyang kaul meminta hujan. Tapi hujan tak kunjung turun juga.” Navis, 2003 1. Dengan kondisi masyarakat yang demikan, Sutan Duano hadir sebagai pelopor dan contoh yang patut diikuti, meskipun pada praktiknya Sutan Duano malah dianggap gila karena menyimpang dari kebanyakan orang. Padahal yang dilakukan Sutan Duano adalah bukti semangat dan kerja keras yang tidak mau berpangku tangan pada nasib yang dialami. Pengarang menggunakan Sutan Duano sebagai profil ideal gambaran pribadi yang mempunyai niat dan semangat mengubah hidupnya di tengah lingkungan dan zaman yang tak bersahabat. Kerajinannya bekerja secara rutin dan teratur dengan memiliki agenda kegiatan dan jadwal yang tersusun dalam pikiran dan pola kebiasaan hidupnya terungkap dalam diri tokoh Sutan Duano meski hal itu sering tidak sejalan dengan keadaan lingkungan sosialnya. Misalnya ketika dia mempunyai idealisme mendidik hidup sehat. ”Kolam ikan yang kecil diperbaikinya. Disemainya anak ikan di dalamnya, lalu dibuatnya pula sebuah kakus umum di teopib kolan itu agar orang berak di sana dan ikannya mendapat makan. Dan sebidang tanah yang berbatu-batu di kaki bukit, di mana sebelumnya tak seorang pun berselera mengolahnya meski musim lapar itu, dimintanya untu dikerjakan.”Navis, 2003 3 Sikap dan perjuangan Sutan Duano sebenarnya merupakan cara pengarang mendidik masyarakat agar mengubah budaya perilaku yang tidak produktif sesuai dengan tuntutan zaman. Budaya yang hampir semua terlalu berkesan malas dan apa adanya tanpa adanya perbuhan menjadikan sosok Sutan Duano sebagai pedobrak budaya yang kurang baik. Termasuk budaya birokrasi yang terjadi dalam cerita tersebut yang coba diubah oleh Sutan Duano. ”Di waktu itulah Sutan Dunao memulai suatu kehidupan baru. Beberapa bidang sawah yang terlantar diminta izin pada yang punya untuk dikerjakan. Sapi-sapi yang tak terrgembalakan lagi ditampungnya dengan perjanjian sedua.” Navis, 2003 5 Sikap dan perbuatan yang semula mendapat cacian dan hinaan akhirnya membawa hasil yang positif sehingga masyarakat pelan-pelan mengakuinya. Tiada usaha yang sia-sia, itulah yang mungkin diajarkan pengarang lewat tokoh Sutan Duano. Meskipun diawal begitu banyak cacian dan keraguan terhadapnya Sutan Duano tetap pada pendiriannya yang akhirnya membuatnya diakui dan disegani oleh penduduk sekitar. Sutan Duano juga digunakan oleh pengarang untuk mengubah sistem pinjam-meminjam uang serta budaya yang tak baik. ”Tapi Sutan Duano sudah termasuk jadi orang yang berada di kalangan rakyat di kampung itu. ... Karenanya ia sudah menjadi orang yang berarti dan disegani oleh semua orang. Tapi bukan karena kayanya. Melainkan karena kebaikan hatinya, dipercaya, dan suka menolong setiap orang yang kesulitan. Lambat-lambat ia jadi pemimopin di kalangan petani untuk mengerjakan sawah. ... Sistem ijon diusahakannya melenyapkannya dengan meminjamkan uangnya sendiri tanpa bunga.” Navis, 2003 6 Begitu banyak hal yang dilakukan Sutan Duano sehingga nampak dengan jelas, tokoh tersebut ingin menyadarkan kita tentang begitu banyak hal yang mestinya kita lakukan dan meninggalkan hal-hal yang kurang bermanfaat dan tak berguna. Penggambaran sifat dan karakter tokoh yang begitu jelas digambarkan pengarang baik lewat tingkah lakunya maupun dari uraian yang disampaikan langsung oleh pengarang melalui ceritanya telah memberikan penulis gambaran dengan jelas mengenai tema yang mungkin ada dalam novel Kemarau. Seperti, sifat kerja keras dan pantang menyerah, pembaharu dalam suatu tatanan kehidupan. Dari kemungkinan tema yang ada penulis masih harus mengkaji lebih dalam mengenai tema utama yang ada dalam novel Kemarau karena “untuk menemukan tema sebuah karya fiksi, ia harus disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu saja” . Setelah penulis menguraikan mengenai tokoh utama yang memberikan gambaran mengenai tema, selanjutnya penulis uraikan pula konflik yang terjadi dalam cerita. Jika konflik utama tersebut berhasil ditemukan, secara garis besar cerita fiksi yang bersangkutan sudah dapat dipahami, sehingga konflik utama merupakan modal penting untuk sampai pada penemuan tema. Permasalah yang menjadi pertama diangkat adalah masalah kemarau yang begitu panjang sehingga membuat sawah menjadi kering dan hasil panen tidak maksimal. Hal inilah yang kemudian menggerakan Sutan Duano mengajak masyarakat bergotong royong mengangkut air dari danau untuk mengairi sawah, namun hal tersebut ditolak, yang pada akhirnya berbuntut panjang mengiringi alur cerita yang dilandaskan dari musim kemarau berkepanjangan dan sikap pasrah para penduduknya. Tak tahu lagi Sutan Duano kepada siapa dia akan pergi. Wali Negeri yang jadi pemerintah di kampung itu sudah didatanginya. Yang punya sawah terluas sudah. Orang yang paling berpengerauh dikalangan petani, sudah. Ia yakin, kemanapun ia akan pergi, tentu ia akan mendapatkan sambutan yang sama. ... satu-satunya jalan bagi Sutan Duano ialah memberi contoh bagaimana mernjadi petani yang baik.” Navis, 2003 17 Tindakan Sutan Duano tersebut kemudian mendapat celaan, banyak orang yang menggap Sutan Duano sudah gila, namun tidak dengan Acin. Anak seorang janda yang justru kemudian memunculkan masalah baru. Masalah demi masalah menimpa tokoh utama, yang pada akhirnya mengungkap semua latar belakang dari Sutan Duano yang merupakan seseorang yang memiliki masa lalu kelam. Dari banyaknya konflik penulis memberikan kesimpulan bahwa masa lalu tokoh utama menjadikan tokoh utama selalu berada dalam masalah. Misalnya, keterkaitan antara masa lalu tokoh yang membuat tokoh enggan untuk beristri lagi menimbulkan banyak masalah, seperti adanya gosip mengenai Sutan Duano dengan Gudam, Sutan Duano dengan Saniah. “`Bapak naik jendela Mak malam-malam. Etek Saniah bilang,` kata Acin menantang. Terengah Sutan Duano mendengar kata anak itu. Ia tidak marah. Tidak pula mencoba meyakinkan Acin. Ia hanya terpulun oleh pikirannya sendiri. Dari mana anak itu bisa berpikir seburuk itu. Dan mengapa Saniah sampai berani berkata yang tidak-tidak. Apa maksud perempuan itu sebenarnya? Ia tak dapat memahami fitnah yang dilontarkan perempuan itu. Akirnya dilemparkannya pikirannya dari perempuan itu.” Navis, 2003 55 Diakhir cerita, masa lalunya begitu sangat memberikan masalah tatkala anak dari istri pertamanya menikah dengan anak dari istrinya yang lain. Aku tak tahu kau mengandung waktu itu, Iyah kalau ku tahu...” kata Sutan Duano dengan lemah ........ kini anak yang ku kandung itu, itulah Arni, istri Masri. Menantumu”.... Meskipun masalah yang menimpa tokoh utama begitu banyak dan pelik, pada akhirnya pengarang menyudahi semuanya dengan situasi yang membuat semua menjadi lebih baik. Karena tema sebuah cerita tidak mungkin disampaikan secara langsung, melainkan hanya menumpang secara eksplisit melalui cerita. Unsur-unsur yang lain, khususnya yang oleh Stanton dikelompokan sebagai fakta cerita-tokoh,plot, latar- yang “bertugas” mendukung dan menyampaikan tema tersebut. Dalam sebuah cerita fiksi, lazimnya ada tokoh utama, konflik utama dan tema utama. Ada keterkaitan yang pada antara ketiganya. Pelaku atau pemilik konflik utama pasti adalah tokoh utama, dan disitulah umumnya letak tema utama. Berdasarkan pada tokoh utama yang digambarkan oleh pengarang yang memiliki sifat bekerja keras dan tidak mudah menyerah, maupun dari konflik-konflik yang pengarang jabarkan mulai dari masalah sifat masyarakat yang tidak mau berusaha, pasrah tanpa mau berjuang, masyarakat yang lebih percaya takhayul daripada berusaha, masalah mengenai masa lalu kelam tokoh utama yang menghantuinya, yang sebenarnya karena masa lalunya itu pula tokoh utama berada dikampung yang menjadi latar dari cerita tersebut, dan usaha pertaubatan seseorang. Maka penulis berkesimpulan bahwa tema pada novel Kemarau dilihat dari tokoh utama dan konflik adalah usaha pantang menyerah seseorang dalam mengubah hidupnya menjadi lebih baik dan sesuai dengan ajaran agama yang disyariatan. Tema ini merupakan sindiran pula bagi mereka yang terlalu mempasrahkan dirinya tanpa mau berusaha. Tema pada novel ini juga mengingatkan kita tentang ayat Al-Qur’an yang memiliki arti “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka QS Ar-Ra’d ayat 11
Karya A.A. Navis. Ringkasan Umum: Musim kemarau yang panjang telah membuat semua penduduk desa putus asa dan akhirnya menjadi bermalas-malasan untuk bertani. Tapi ada seorang bernama Sutan Duano, dia terus mengairi sawah dengan mengangkat air dari danau walaupun panas terik menyengat tubuhnya. Tapi penduduk desa tidak mengikuti tapi malah
This study aims to provide sympathetic insight for who are interested in short stories in Indonesia through the perspective of Linda Hutcheon historical postmodernism. Through this research, we can find a description of story facts and the ideas of the author that are realized through the center and the periphery, along with the contextualization aspects of the short story Navis’ Robohnya Surau Kami to nowadays society. This research also contributes to literary works appreciation to educational institutions, academics, the society of literary enthusiasts, and the wider community in the form of short story research with the perspective of Linda Hutcheon’s postmodernism so that it is expected to increase the quantity of practice in postmodernism studies. The methodology used in the short story Robohnya Surau Kami using Linda Hutcheon's postmodernist theory is a descriptive method of analysis, by describing the facts which are then analyzed. The analysis does not merely describe but also gives sufficient understanding and explanation. Robohnya Surau Kami by A. A. Navis is a monumental work A. A. Navis containing religious elements. In his work, A. A. Navis presents inner experiences about the concept of the religious life of small communities in Indonesia. This short story is an outstanding and popular work as it is considered as a rare religious literature; AA Navis does not merely tell about worship and devotion to God, but also humanitarian values in Indonesia loaded with caring and tolerance so that it is necessary to trace the facts of the story in the short story, identify the center and the periphery that triggers conflict, and the implications of its contextualization of society in the present. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free SASDAYA Gadjah Mada Journal of Humanities e-ISSN 2549-3884 e-mail ANALISIS CERPEN “ROBOHNYA SURAU KAMI” KARYA NAVIS DALAM PERSPEKTIF POSMODERNISME LINDA HUTCHEON Rudi Ekasiswanto Email rudiekasiswanto Staf Pengajar Bahasa dan Sastra Indonesia, Departemen Bahasa dan Sastra Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta ABSTRACT This study aims to provide sympathetic insight for whom are interested in short stories in Indonesia through the perspective of Linda Hutcheon historical postmodernism. Through this research, we can find a description of story facts and the ideas of the author that are realized through the center and the periphery, along with the contextualization aspects of the short story Navis’ Robohnya Surau Kami to nowadays society. This research also contributes to literary works appreciation to educational institutions, academics, the society of literary enthusiasts, and the wider community in the form of short story research with the perspective of Linda Hutcheon’s postmodernism so that it is expected to increase the quantity of practice in postmodernism studies. The methodology used in short story Robohnya Surau Kami using Linda Hutcheon's postmodernist theory is a descriptive method of analysis, by describing the facts which are then analyzed. The analysis does not merely describe but also gives sufficient understanding and explanation. Robohnya Surau Kami by A. A. Navis is a monumental work A. A. Navis containing religious elements. In his work, A. A. Navis presents inner experiences about the concept of religious life of small communities in Indonesia. This short story is an outstanding and popular work as it is consider as a rare religious literature; AA Navis does not merely tell about worship and devotion to God, but also humanitarian values in Indonesia loaded with caring and tolerance so that it is necessary to trace the facts of the story in the short story, identify the center and the periphery that triggers conflict, and the implications of its contextualization of society in the present. Keywords postmodernism, postmodern fiction, story facts, fiction elements, center and periphery, contextualization Rudi Ekasiswanto, Analisis Cerpen “Robohnya Surau Kami” dalam perspektif Posmodernisme Linda Hutcheon SASDAYA Gadjah Mada Journal of Hunaities Vol. 4. 2020 28 PENDAHULUAN Istilah posmodernisme muncul pada tahun 1926 sebagai judul buku dan mulai banyak digunakan di dunia Barat pada tahun 1930–1940. Posmodernisme berfokus pada transformasi penting yang terjadi di masyarakat dan kebudayaan kontemporer Sarup, 2003 228. Menurut McHale 1991 4, posmodernisme adalah istilah yang acuannya tidak ada karena ia adalah suatu konstruksi. Meski demikian, McHale 1991 5 menekankan bahwa posmodernisme tidak melulu terjadi setelah’ modernisme, namun lebih kepada dari’ modernisme. Menurut Hutcheon 2004 1, posmodernisme membangun ideologi yang kontradiktif, tetapi tidak oposisional. I offer instead, then, a specific, if polemical, start from which to operate as a cultural activity that can be discerned in most art forms and many currents of thought today, what I want to call postmodernism is fundamentally contradictory, resolutely historical, and inescapably political. Hutcheon, 1988 4 Dalam karya sastra posmodernisme, faktor otonom menjadi hal yang diragukan. Karya posmodernisme menjunjung sifat intertekstual dalam pembentuknya, sehingga terdapat konstruksi historiografi dalam sebuah fiksi posmodern. Kontradiksi posmodernisme termanifestasi pada konsep “keberadaan masa lalu” yang bertujuan untuk membentuk karya yang kritis Hutcheon, 19884. Dalam usahanya, penulis akan mengungkapkan gagasan-gagasannya baik secara implisit maupun eksplisit. Beyley dalam Hutcheon, 1988 57 mengungkapkan bahwa siapapun yang menulis sebuah karya pasti memiliki ide yang jelas mengenai apa yang baik dan buruk dalam kehidupan. Melalui ide-ide yang diwujudkan inilah, penulis akan menunjukkan keberpihakannya terhadap dunia. Hal ini dapat diketahui dengan menelusuri kontekstualisasi antara karya dengan kondisi sosial masyarakat. Pada aplikasinya dalam bidang kesusasteraan, teori posmodernisme lebih sering digunakan untuk mengkaji karya-karya yang dianggap baru ataupun mendukung modernitas. Melalui teori posmodernisme, karya-karya tertentu ditelaah dan dipandang perspektif posmodern-nya sehingga menjadi fiksi posmodern. Namun sebagai perkembangan dari modernisme, posmodernisme juga dapat digunakan untuk mengkaji karya-karya yang telah terbit dalam kurun waktu yang lama. Salah satunya adalah cerpen berjudul Robohnya Surau Kami karya Ali Akbar Navis. Robohnya Surau Kami adalah karya monumental Navis yang terbit dalam kumpulan cerpen pada tahun 1965 dan masih dikenal hingga sekarang. Pada masa tersebut, karya sastra yang lahir cenderung menampakkan aspek-aspek posmodernisme Prihatmi, 1999, yakni menampilkan peristiwa yang seringkali berada di luar logika pada umumnya. Pada masa tersebut, Robohnya Surau Kami pun dinilai berada di luar logika umum’ sebab ia menceritakan peristiwa yang mengada-ada dan tidak nyata’. Meskipun demikian, cerpen tersebut tetap dapat diteliti aspek posmodernitas-nya sebab ia memiliki relevansi dengan kehidupan sosial masyarakat; Robohnya Surau Kami dinilai menyajikan pandangan yang memiliki pengaruh terhadap manusia sebab ia menjelaskan hal-hal yang dihindari sebagian besar umat beragama, yakni pertanyaan dan konstruksi mengenai dosa dan pahala, hari akhir dan akhirat, serta ketuhanan. Rudi Ekasiswanto, Analisis Cerpen “Robohnya Surau Kami” dalam perspektif Posmodernisme Linda Hutcheon SASDAYA Gadjah Mada Journal of Hunaities Vol. 4. 2020 29 Robohnya Surau Kami sebagai Fiksi Posmodern Cerpen Robohnya Surau Kami karya A. A. Navis menceritakan tentang seorang penjaga surau yang meradang akibat mendengar cerita dari seorang pembual tentang kejadian di akhirat kelak. Dikisahkan oleh si pembual, bahwa Tuhan lebih menyukai orang-orang yang tidak hanya fokus beribadah sepanjang hidupnya, tetapi juga menjalankan perintah-Nya untuk menyayangi sesama, melindungi keluarga, mencintai alam, bekerja, dan sebagainya. Si kakek penjaga surau yang memang menghabiskan hidupnya untuk merawat surau dan beribadah kepada Tuhan pun akhirnya bunuh diri. Dalam proses kreatifnya, Navis dikenal selalu memberikan efek getir pada cerita-ceritanya untuk membahas mengenai ironi yang ada di dunia, terutama di negeri ini. Dari cara penulisan itu, dapat diketahui apa yang menjadi maksud pengarang sebenarnya. Hal ini disebabkan oleh proses penulisan karya yang sangat dipengaruhi oleh keadaan yang sedang berlaku di sekitar seorang penulis. Penulis yang peka akan terangsang intuisi kebahasaannya untuk melihat dan menerjemahkan apa yang terjadi menjadi bahan olahan untuk kemudian diproses menjadi sebuah kisah yang bahkan bisa tak pernah menampakkan ide dasar penulis secara gamblang, namun harus dianalisis oleh pembaca, dengan kata lain dituliskan secara implisit. Hal ini senada dengan yang dilontarkan Teeuw 1988, bahwa sastra Indonesia lahir pada tahun 1920 dengan latar belakang sosial politik, oleh sebab itu sastra menjadi media bagi para pemuda untuk mulai menyuarakan pikirannya. Latar belakang itu tampak dari cara Navis menggunakan unsur kedaerahan dalam cerita-ceritanya. Menurut Goodman 1977, ...the abstract literary elements are to be found, not in the signications and their associations, but in the means of signifying; they are not the denotations and connotations, but the parts of speech. Jadi, elemen abstrak kesusasteraan dapat ditemukan, tidak secara signifikan dan dalam asosiasi-asosiasi tertentu, tapi memiliki makna yang menandakan; elemen abstrak tersebut bukanlah denotasi maupun konotasi, melainkan bagian dari cara berbicara. Dari sanalah sastra yang cenderung abstrak juga diminati oleh sebagian orang. Demikian juga yang terdapat dalam cerpen Robohnya Surau Kami. Daripada menceritakan secara eksplisit kebobrokan moral serta sosial yang mengimpitnya, Navis memilih untuk meracik ceritanya dengan sederhana, khas, dan penuh makna. Ia tak mendiskreditkan pihak tertentu, tapi mampu melayangkan kritik secara tepat sasaran kepada umat manusia secara keseluruhan. Hal ini pun tak membuat cerpennya berbatas pada diskursi didaktif semata. Sebaliknya, Navis menyiratkan ironi yang bahkan dapat menjembatani pikiran siapa saja. Daripada disebut mengkritik umat beragama atau cara beragama, Navis bisa dibilang menonjolkan tuntunan hidup yang ingin disampaikan dan dihayati bersama. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa cerpen Robohnya Surau Kami juga termasuk sebagai fiksi posmodern sesuai dengan pendapat Hutcheon 1988 41 berikut. The more complex and more overt discursive contextualizing of postmodernism goes one step beyond this auto-representation and its demystifying intent, for it is fundamentally critical in its ironic relation to the past and the present. This is true of Rudi Ekasiswanto, Analisis Cerpen “Robohnya Surau Kami” dalam perspektif Posmodernisme Linda Hutcheon SASDAYA Gadjah Mada Journal of Hunaities Vol. 4. 2020 30 postmodern fiction and architecture, as it is of much contemporary historical, philosophical, and literary theoretical discourse today. Menurut Hutcheon, fiksi posmodern terbebas dari representasi otomatis dan usaha-usaha deskriptif belaka. Ia secara fundamental kritis dalam relasi ironinya terhadap masa lalu dan masa depan. Dalam hal ini, Robohnya Surau Kami memiliki kecenderungan untuk mengatasi representasi otomatis tersebut dan sebaliknya, ia mengarahkan bentuk yang terlepas dari nostalgia. Hal ini dapat terlihat dari penggambaran narasi keseluruhan cerita yang dituturkan dari sudut pandang tokoh aku’ terhadap pembaca yang diwakilkan sebagai Tuan’. Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tuan di jalan kampungku Navis, 1965140. Pada penggalan cerpen di atas, dapat diketahui bahwa tokoh aku’ memperkenalkan segala unsur dalam ceritanya dengan gamblang. Ia mendapati diri sebagai narator yang menyadari keberadaan pembacanya dan secara tidak langsung menunjukkan urgensi isi pesan yang dibawanya. Pemilihan sudut pandang ini dijelaskan Hutcheon 198845 sebagai berikut. In its contradictions, postmodernist fiction tries to offer what Stanley Fish 1972, xiii once called a “dialectical” literary presentation, one that disturbs readers, forcing them to scrutinize their own values and beliefs, rather than pandering to or satisfying them. But as Umberto Eco has reminded us, postmodern fiction may seem more open in form, but constraint is always needed in order to feel free in Rosso 1983, 6. This kind of novel self consciously uses the trappings of what Fish calls “rhetorical” literary presentation omniscient narrators, coherent characterization, plot closure in order to point to the humanly constructed character of these trappings—their arbitrariness and conventionality. Fiksi posmodern mencoba menawarkan presentasi sastra dialektis’ yang terkesan mengganggu pembaca dan memaksa mereka untuk meneliti nilai-nilai dan keyakinan yang mereka anut, daripada sekadar menjadi pemuas mereka. Meskipun fiksi posmodern tampak lebih terbuka, selalu terdapat pengikat yang membuat kita menyadari pentingnya menjadi bebas. Dengan demikian fiksi posmodern secara sadar menggunakan apa yang disebut Fish sebagai presentasi sastra retoris’ narator mahatahu, karakterisasi yang koheren, penutupan alur untuk menunjukkan karakter yang dibangun secara manusiawi—baik kesewenang-wenangan dan konvensionalitas mereka. Menurut Hutcheon 198845 hal ini merupakan salah satu eksploitasi kontradiktif posmodern dan subversi dari aspek-aspek fiksi realis maupun modernis. Dari penjabaran di atas, dapat kita ketahui bahwa Robohnya Surau Kami memuat ciri fiksi posmodern. Keberadaannya bukan sebagai pemuas golongan ekstrem tertentu, sebaliknya ia memuat nilai-nilai kebersamaan dan kearifan yang umum kita kenali dalam masyarakat daerah Indonesia yang menjunjung kekerabatan. Ia juga dapat disebut sebagai posmodern sebab meninggalkan baik aspek fiksi realis maupun modernis. Rudi Ekasiswanto, Analisis Cerpen “Robohnya Surau Kami” dalam perspektif Posmodernisme Linda Hutcheon SASDAYA Gadjah Mada Journal of Hunaities Vol. 4. 2020 31 Hal ini cukup menarik sebab Robohnya Surau Kami selama ini lebih dikenal sebagai karya yang berlatarkan religiusitas. Dewasa ini, topik tentang karya sastra dengan nuansa keagamaan yang kental menjadi salah satu isu yang digemari khalayak luas, terutama berkenaan dengan merenggangnya ikatan toleransi antarwarga Indonesia. Secara teori, hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Menurut Heryanto 2018 73, agama dapat menawarkan keteduhan bagi orang-orang yang tak mampu secara ekonomi dan politik serta tak memiliki perwakilan atau kuasa dalam meraih keadilan. Bagi orang kaya urban yang kritis terhadap status quo, agama dapat berperan sebagai titik berangkat bagi pembangkangan ketika seluruh jalur yang sah untuk politik resmi sudah ditutup. Bagi mereka yang sedang berkuasa, dikelilingi oleh kemiskinan, korupsi, dan kekerasan yang disponsori oleh negara, ketakwaan dapat membantu memulihkan kecemasan tentang status mereka, mengurangi rasa bersalah, atau menetralkan persepsi publik tentang kerakusan mereka. Lambat laun, hal ini dikenal sebagai identitas religiusitas yang tercermin dalam berbagai produk kehidupan manusia, salah satunya karya sastra. Belakangan, dengan maraknya peristiwa benturan beragama, penelitian dengan objek sastra religi menjadi kembali diminati. Terutama berkenaan dengan tujuan penciptaan karya sastra dan bagaimana pembaca mampu menerimanya. Herfanda 2008 132 menyatakan bahwa apa pun orientasi penciptaan karya sastra, karena merupakan sekumpulan sistem tanda yang menyimpan makna, maka ia akan memiliki kemampuan tersembunyi subversif untuk mempengaruhi perasaan dan pikiran pembacanya. Hal ini menjadi salah satu kemampatan sastra religi untuk membenahi diri dan menguatkan posisinya sebagai karya sastra yang seharusnya direaksi, diproses, atau dipecahkan. Kreativitas dalam sastra religi diharapkan untuk selalu berada pada jalur yang semestinya, sebisa mungkin tidak menimbulkan kontroversi. Padahal, menurut William dalam Faruk, 2015 44, kreativitias merupakan ciri khas sastra, bahkan menyangkut keseluruhan tata kehidupan masyarakat. Setiap pengarang akan menggunakan cipta, rasa, dan karsa dalam berkarya. Begitu pula pembaca, dalam menanggapi karya sastra juga tidak akan lepas dari kejiwaan masing-masing Denta 2010. Oleh sebab itu, hingga kini sastra religi masih sering mengundang polemik-polemik minor dalam lingkungannya. Terutama berkenaan dengan apa yang dianggap benar dan direstui. Hasil yang diperoleh adalah kebenaran yang mempunyai nilai-nilai artistik yang dapat menambah koherensi dan kompleksitas karya tersebut Wellek dan Werren, 1990108. Sebab menurut Mangunwijaya 198212, religiusitas sendiri lebih melihat apa yang ada dalam diri seseorang dalam menjalankan kewajiban agamanya. Sementara agama, menurut Mangunwijaya 198211, menunjukkan kelembagaan kebaktian pada Tuhan dengan hukum-hukum yang resmi. Religiusitas bersifat totalitas individu. Ia mengatasi lebih dari sekadar agama yang diakui secara kolektif dan memiliki keteraturan ketat. Religiusitas lebih bergerak ke tata paguyuban yang khidmat, konsentrasi diri, pasrah sumarah, dan mendengarkan sabda Ilahi dalam hati Mangunwijaya, 198212. Demi membuktikan bahwa religiusitas memiliki dimensi yang lebih luas daripada agama, Glock dan Stark dalam Djamaluddin dan Nashori, 200176, mengungkapkan lima macam dimensi religiusitas, yaitu 1 dimensi keyakinan ideologi, 2 dimensi peribadatan Rudi Ekasiswanto, Analisis Cerpen “Robohnya Surau Kami” dalam perspektif Posmodernisme Linda Hutcheon SASDAYA Gadjah Mada Journal of Hunaities Vol. 4. 2020 32 atau praktik agama ritualistik, 3 dimensi pengalaman, 4 dimensi ihsan penghayatan, dan 5 dimensi pengetahuan. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa karya sastra yang memuat aspek religiusitas memiliki kompleks yang sama dengan aspek-aspek lainnya. Terutama di Indonesia, yang mana memiliki kadar-kadar tertentu tentang kapan religiusitas tersebut ditampakkan dan disembunyikan. Meski demikian, sastra religi masih menjadi salah satu genre yang diminati pembaca. Banyak di antara karya sastra religi tersebut juga mengusung tema modernitas dan menjadi sastra populer seiring dengan munculnya komunitas-komunitas berbasis keagamaan yang merambah dunia kreatif sebagai media dakwah dan ekspresi diri. Hal ini disebabkan kesadaran para penggiat agama tersebut bahwa, seni populer biasanya lebih dapat diakses–seni populer adalah tentang kita dan ada di mana-mana–dan akrab, dia menarik karena dirinya sendiri dan mengungkapkan secara tidak sadar tentang budaya yang diekspresikan White, 1972. Di balik itu, masih banyak karya sastra religi yang sejak kemunculannya menjadi salah satu tonggak penanda khazanah sastra Indonesia. Karya-karya ini umumnya termasuk dalam sastra serius. Menurut Pujiharto 2010 21, karya sastra serius adalah karya yang menyajikan pengalaman kemanusiaan namun dengan tingkat kesulitan pemahaman yang lebih tinggi dibanding sastra populer karena sastra serius menggunakan fakta-fakta dan sarana-sarana cerita yang lebih rumit hingga untuk memahami temanya pun harus melewati langkah-langkah analisis yang serius pula. Sehingga dapat dipahami bahwa sastra religi tidak hanya penting bagi masyarakat pada umumnya, tetapi juga berkenaan dengan sumbangsihnya pada kesusasteraan. Pada tataran inilah, Robohnya Surau Kami menjadi penentu bahwa sastra religi tidaklah singup seperti yang diperkirakan. Sebaliknya, ia dapat dipandang dalam berbagai paradigma dan metode yang menghasilkan berbagai kesimpulan. Postmodern fiction challenges both structuralist/modernist formalism and any simple mimeticist/realist notions of referentiality. It took the modernist novel a long time to win back its artistic autonomy from the dogma of realist theories of representation; it has taken the postmodernist novel just as long to win back its historicizing and contextualizing from the dogma of modernist aestheticism. Hutchen, 1988 52 Fiksi posmodern menantang formalisme strukturalis/modernis dan gagasan mimesis/realis sederhana tentang referensialitas. Artinya, ia memiliki kecenderungan untuk mengubah apa yang selama ini dipahami sebagai bentuk baku referensi dan bahkan menggunakan bentuk yang sama sekali baru. Referensi tak lagi ditunjukkan terang-terangan dengan catatan kaki, tetapi dilesapkan dalam keseluruhan isi karya. Robohnya Surau Kami yang termasuk novel lama dapat dikatakan menggunakan kembali otonomi artistiknya dari dogma teori representasi realistis untuk menitikberatkan aspek historisasi dan kontekstualisasi. Robohnya Surau Kami, sesuai pandangan Hutcheon 1988 53, secara paradoks menggunakan dan menyalahgunakan konvensi realisme dan modernisme untuk menantang transparansi mereka dan untuk mencegah penyingkapan terhadap kontradiksi yang membuatnya menjadi fiksi posmodern sebagaimana adanya historis dan metafiksi, kontekstual dan refleksi diri, selalu menyadari statusnya sebagai wacana, dan sebagai konstruksi manusia. Rudi Ekasiswanto, Analisis Cerpen “Robohnya Surau Kami” dalam perspektif Posmodernisme Linda Hutcheon SASDAYA Gadjah Mada Journal of Hunaities Vol. 4. 2020 33 PEMBAHASAN FAKTA CERITA, PUSAT DAN PINGGIRAN Aspek-aspek posmodernisme dalam sebuah karya meliputi penggunaan dan penyimpangan fakta ceritanya dalam membangun keseluruhan cerita dan hubungan antara pinggiran dan pusat, antara tertindas dan penindas, serta kontekstualisasi di dalamnya. Peristiwa yang telah terjadi diceritakan ulang dan ditunjukkan sebagai sesuatu yang secara sadar disusun menjadi narasi yang terkonstruksi sedemikian rupa sehingga dapat dipahami oleh pembaca. Hal ini penting sebab dalam fiksi posmodern, penggunaan konsep “keberadaan masa lalu” sama sekali tidak menyangkal eksistensi masa lalu yang riil, tetapi memusatkan perhatian pada tindak pemaksaan tatanan pada masa lalu itu dengan tidak mengodekan strategi penciptaan-makna melalui representasi Hutcheon, 2004104. Oleh sebab itu, pengarang dapat hadir melalui keberpihakannya dalam cerita untuk menyampaikan gagasan dari kelompok atau golongan yang diwakilinya. Fakta yang ada dalam karya sastra dapat menyokong keberadaan pengarang melalui suara-suara kepengarangannya, sudut pandang, narator, atau tokoh-tokoh tertentu untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang dipandangnya memiliki tingkat kebenaran atas suatu peristiwa. Sehingga dapat dipahami pelajaran penting dari posmodernisme adalah bahwa peneliti tidak diperbolehkan untuk membatasi investigasinya pada teks dan pembaca, melainkan pada proses produksi sebuah karya. Diperlukan lebih dari sekadar teks dan pembaca untuk mengaktifkan proses pemberian makna atas suatu karya agar apa yang disampaikan dalam karya tersebut mendapat pelekatan makna yang sebenar-benarnya. Fakta Cerita Fakta yang terkandung dalam fiksi posmodernisme ialah peristiwa yang dimaknai. Dalam metafiksi historiografis, proses pengubahan peristiwa menjadi fakta melalui penafsiran bukti dokumenter ditunjukkan sebagai proses pengubahan jejak-jejak masa lalu menjadi representasi historiografis Hutcheon, 200489. Dalam fiksi posmodern, terjadi gabungan unsur faktual dan unsur fiktif. Unsur faktual berupa peristiwa masa lalu, sementara unsur fiktif berupa pelaku, plot, fantasi, prophesi, serta pola dari ritme Forster dalam Kuntowijoyo, 2006176. Pendapat Forster tersebut melengkapi pandangan Hutcheon mengenai unsur-unsur pembangun metafiksi historiografi. Bukti dokumenter yang dimaksud Hutcheon berupa teks-teks lain yang telah terlebih dahulu ada dan berperan sebagai referensi, sehingga fiksi posmodernisme umumnya memuat intertekstualitas untuk menunjang cerita. Teks-teks lain yang sudah ada didukung atau didekonstruksi oleh penulis untuk mewujudkan gagasan yang ingin disampaikannya. Miola 201413 mengidentifikasikan intertekstualitas menjadi tiga kategori, yakni; kategori pertama, di mana teks sebelumnya muncul secara verbal/tersurat; kategori kedua, di mana pembaca akan mengenali adanya teks lain dalam teks tersebut melalui kekayaan individualnya; dan kategori ketiga, di mana pemberian teks sebelumnya bersifat argumentatif memuat referensi berlapis sehingga dapat diperdebatkan. Kategori kedua dan ketiga mengindikasikan teks lain yang muncul secara tersirat. Dalam analisis ini, kajian meliputi tipe teks paralogues, yakni teks yang menjelaskan tokoh, sosial, atau makna politis dalam teks lainnya. Rudi Ekasiswanto, Analisis Cerpen “Robohnya Surau Kami” dalam perspektif Posmodernisme Linda Hutcheon SASDAYA Gadjah Mada Journal of Hunaities Vol. 4. 2020 34 Today, critics can adduce any contemporary text in conjunction with another, without bothering at all about verbal echo, or even imprecise lines of filiation. In some ways the discussion of paralogues departs from past critical practices, bringing new freedom; but, of course, new perils threaten; rampant and irresponsible association, facile cultural generalization, and anecdotal, impressionistic historicizing. Miola, 201423 Paralogues muncul secara implisit sehingga penelusuran pembaca tidak akan berhenti pada apa yang disampaikan penulis semata. Paralogues membawakan kebebasan bagi setiap penulis untuk mengekspresikan diri tetapi juga memberikan kaitan historis akan setiap karya. Paralogues disebut pula interdiscursivity, yang berarti hubungan antar teks, baik lisan maupun tulisan, berkenaan dengan semua wacana yang terekam dalam budaya yang memiliki kemiripan dan secara ideologi terorganisir Miola, 201423. Dalam cerpen Robohnya Surau Kami karya A. A. Navis, unsur interdiskursivitas sarat tampak pada bagaimana pengarang mengungkapkan kepercayaan spiritualnya. Hal ini seperti tampak pada penggalan cerita berikut. “Pada suatu waktu,” kata Ajo Sidi memulai, “di akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang yang sudah berpulang. Para malaikat bertugas di samping-Nya. Di tangan mereka tergenggam daftar dosa dan pahala manusia. Begitu banyak orang yang diperiksa. Maklumlah dimana-mana ada perang.” Navis, 1965 143 Sebagaimana yang diceritakan oleh tokoh Ajo Sidi, A. A. Navis menyitir kutipan-kutipan kepercayaan manusia yang beragama Islam tentang suatu peristiwa yang dipercaya akan terjadi di akhirat. Hal ini dapat terjadi sebab umat Islam diwajibkan mengimani apa yang disebut hari akhir dan hari kebangkitan. Seperti yang tertera pada Surah Az-Zumar ayat 68 yang berbunyi, “Dan ditiuplah sangkakala, maka matilah siapa yang di langit dan di bumi kecuali siapa yang dikehendaki Allah. Kemudian dititup sangkakala itu sekali lagi maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu putusannya masing-masing.” Meskipun secara akal pikiran, hal ini tidaklah dapat dijadikan landasan yang logis, tetapi dalam metafiksi historiografi, hal ini dapat diterima sebab memuat budaya baik lisan maupun tulisan yang bersifat spiritual dan terorganisir secara ideologi. Dalam Robohnya Surau Kami, unsur ini dominan sebab kerangka yang dibangun A. A. Navis adalah kemasyarakatan dalam umat Islam yang semakin lama semakin memudar. Jika dalam metafiksi historiografis, fakta adalah peristiwa yang dimaknai, maka dalam Robohnya Surau Kami, A. A. Navis menarik fakta yang ada dalam isu-isu sosial yang berusaha dikemukakannya dan menjelaskannya dengan cara yang terbilang antimainstream, yakni melalu penghakiman pada hari kebangkitan. Metode ini umumnya banyak diterapkan dalam karya sastra religi yang berusaha memberikan kompensasi terhadap segala sesuatu yang dikerjakan manusia melalui janji-janji dan balasan yang setimpal di kehidupan yang sesungguhnya’. Meski demikian, lewat Robohnya Surau Kami, A. A. Navis memberikan twist yang tidak terduga dengan memaknai kriteria Tuhan sebagai hal yang tidak biasa. Alih-alih dengan memberikan kenikmatan dan kebahagiaan yang diwujudkan dalam bentuk surga kepada orang-orang yang terus-menerus dan selalu beribadah, Tuhan mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan dengan memberikan pertimbangan bagi Rudi Ekasiswanto, Analisis Cerpen “Robohnya Surau Kami” dalam perspektif Posmodernisme Linda Hutcheon SASDAYA Gadjah Mada Journal of Hunaities Vol. 4. 2020 35 mereka yang beribadah sesuai dengan yang dikehendakinya. Dalam Robohnya Surau Kami, hal ini dijelaskan Navis melalui “dan Tuhan memeriksa dengan segala sifat-Nya” Navis, 1965143. “Ya, Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain daripada beribadat menyembah-Mu, menyebut-nyebut nama-Mu. Bahkan dalam kasihMu, ketika aku sakit, nama-Mu menjadi buah bibirku juga. Dan aku selalu berdoa, mendoakan kemurahan hati-Mu untuk menginsafkan umat-Mu.” “Lain?” Haji Saleh tak dapat menjawab lagi. Ia telah menceritakan segala yang ia kerjakan. Tapi ia insaf, pertanyaan Tuhan bukan asal bertanya saja, tentu ada lagi yang belum di katakannya. Tapi menurut pendapatnya, ia telah menceritakan segalanya. Ia tak tahu lagi apa yang harus dikatakannya. Ia termenung dan menekurkan kepalanya. Api neraka tiba-tiba menghawakan kehangatannya ke tubuh Haji Saleh. Dan ia menangis. Tapi setiap air matanya mengalir, diisap kering oleh hawa panas neraka itu. Navis, 1965144 Alangkah tercengang Haji Saleh, karena di neraka itu banyak teman-temannya di dunia terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan ia tambah tak mengerti dengan keadaan dirinya, karena semua orang yang dilihatnya di neraka itu tak kurang ibadatnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang yang telah sampai empat belas kali ke Mekah dan bergelar syekh pula. Lalu Haji Saleh mendekati mereka, dan bertanya kenapa mereka dinerakakan semuanya. Tapi sebagaimana Haji Saleh, orang-orang itu pun, tak mengerti juga. Navis, 1965145 Kedua peristiwa yang diceritakan Navis melalui tokoh Ajo Sidi di atas sesuai dengan bagaimana Alquran mendeskripsikan surga dan neraka serta para penghuninya. Hal ini tampak melalui Surah Albaqarah ayat 81 yang berbunyi, “barangsiapa berbuat dosa dan ia telah diliputi oleh dosanya, mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya” dan Surah Attaubah ayat 72 yang berbunyi, “Allah menjanjikan kepada orang-orang yang mukmin, lelaki dan perempuan, akan mendapat surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan mendapat tempat-tempat yang bagus di surga Adn. Dan keridaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar.” Oleh sebab itu, Haji Saleh diceritakan ketakutan ketika isyarat bahwa dirinya akan masuk neraka diperjelas dan surga terasa menjauh. Karya sastra posmodern mengangkat persoalan bagaimana intertekstualitas historis, dokumen atau jejaknya, disatukan ke dalam konteks yang diakui sebagai rekaan atau fiktif, sementara masih mempertahankan nilai dokumenter historisnya Hutcheon, 2004 129. Meskipun sebenarnya Alquran bukanlah bukti historis dalam dunia nyata, terutama bagi yang tidak mengimaninya, namun narasi tentang kiamat sebagai akhir dunia dipercaya sebagai fakta yang akan terjadi sehingga memiliki nilai historis, bahkan bagi seluruh umat beragama di dunia. Pusat dan Pinggiran Seperti halnya teori sastra lainnya, posmodernisme mempertanyakan humanisme liberal, yakni otonomi, kepentingan, kepastian, otoritas, kesatuan, Rudi Ekasiswanto, Analisis Cerpen “Robohnya Surau Kami” dalam perspektif Posmodernisme Linda Hutcheon SASDAYA Gadjah Mada Journal of Hunaities Vol. 4. 2020 36 kemutlakan, sistem, pusat, kesinambungan, hirarki, homogenitas, keunikan, keaslian Hutcheon, 198857. Bagi Hutcheon, karya sastra pada umumnya memiliki ketimpangan dan gesekan antar tokoh-tokohnya sehingga wajar jika keberadaannya cenderung mengguncangkan keaslian dan pusat. Dalam usaha-usaha tersebut, terdapat pihak yang berperan sebagai dominan dan ada pula yang berperan sebagai minoritas. Dalam posmodernisme, hal ini disebut sebagai pusat dan pinggiran. The decentering of our categories of thought always relies on the centers in contests for its very definition and often its verbal form. The adjectives may vary hybrid, heterogeneous, discontinous, antitotalizing, uncertain. Hutcheon, 198859 Dalam bentuk lain, pinggiran dapat berupa persilangan, keberagaman, keterputusan, antitotalitas, dan ketidakpastian. Menurut Owens dalam Hutcheon, 198859, ketika karya sastra posmodern memenuhi perannya, ia tak lagi menyatakan otonomi, swasembada, ataupun kejelasannya, melainkan untuk menarasikan kemungkinan, ketidakcukupan, dan ketidakjelasan. Dalam hal ini, pusat akan dieksploitasi dan dalam batas-batas tertentu, ditumbangkan. Seperti yang diungkapkan Derrida dalam Hutcheon, 198860 bahwa bukan berarti pusat ditiadakan, karena dalam hakikatnya sendiri manusia tidak akan bisa hidup tanpa pusat, sebab pusat adalah fungsi, bukan suatu bentuk maupun realita. Tanpa keberadaan pusat, pinggiran tak akan ada maupun diakui. Dalam Robohnya Surau Kami, pinggiran ditunjukkan oleh tokoh Kakek Penjaga Surau. Hal ini ditunjukkan melalui penggambaran berikut. Sebagai penjaga surau, Kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang dipungutnya sekali se-Jumat. Sekali enam bulan ia mendapat seperempat dari hasil pemungutan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan fitrah Id kepadanya. Tapi sebagai garin ia tak begitu dikenal. Ia lebih di kenal sebagai pengasah pisau. Karena ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tak pernah minta imbalan apa-apa. Orang-orang perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering diterimanya ialah ucapan terima kasih dan sedikit senyum. Navis, 1965 140 Dalam hidupnya, Kakek digambarkan sebagai orang yang menyerahkan hidupnya kepada Tuhan. Ia sama sekali tak mencari keuntungan, melainkan sibuk beribadah. Kakek bahkan tak pernah memikirkan kehidupan duniawinya. Sebaliknya, ia taat menegakkan perintah Allah dan berusaha menjauhi segala larangan dan perbuatan dosa. Demikian tokoh Kakek begitu dihormati dan dicintai oleh orang-orang kampung. Tak heran apabila tokoh Kakek digambarkan Navis sebagai simbol surau itu sendiri. Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu tanpa penjaganya. Hingga anak-anak menggunakannya sebagai tempat bermain, memainkan segala apa yang disukai mereka. Perempuan yang kehabisan kayu bakar, sering suka mencopoti papan dinding atau lantai di malam hari. Jika Tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya. Navis, 1965140 Rudi Ekasiswanto, Analisis Cerpen “Robohnya Surau Kami” dalam perspektif Posmodernisme Linda Hutcheon SASDAYA Gadjah Mada Journal of Hunaities Vol. 4. 2020 37 Judul Robohnya Surau Kami, secara tidak langsung menunjukkan bagaimana sebenarnya konstruksi pikiran Kakek begitu pula dengan manusia pada umumnya dan juga sebuah surau begitu rapuh dan dapat digerogoti oleh suatu ide yang baru. Dalam hal ini, Navis mengungkapkan tentang bagaimana beribadah’ seharusnya dilakukan dan untuk itu, tentu saja kita perlu menghancurkan konstruksi surau’ yang tradisional dan digambarkan oleh pemikiran Kakek. Bagaimanapun juga, lama-kelamaan tradisi spiritual kita pun akan berubah. Hal ini menunjukkan bahwa meski kehidupannya selalu tegak lurus dengan Yang Maha Kuasa, nampaknya tokoh Kakek menyimpan rasa getir yang disimpannya sendiri. Sekian tahun hidup seorang diri dan beribadah, ia akhirnya menumpahkan kekesalannya begitu seseorang bernama Ajo Sidi menceritakan kisah yang dianggapnya mengusik hidupnya. Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat orang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi ini jarang terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar baginya ialah karena semua pelaku-pelaku yang diceritakannya menjadi model orang untuk diejek dan ceritanya menjadi pameo akhirnya. Ada-ada saja orang-orang di sekitar kampungku yang cocok dengan watak pelaku-pelaku ceritanya. Navis, 1965141 Tokoh Ajo Sidi dalam Robohnya Surau Kami mencerminkan pusat. Melalui cerita-ceritanya, ia menerapkan kontrol perilaku dalam kehidupan bermasyarakat di kampung tempatnya tinggal. Meski dikenal sebagai pembual, Ajo Sidi mampu menarik orang-orang untuk benar-benar terlarut dalam ceritanya. Hal ini contohnya ditampakkan pada bagaimana ia bisa membuat Kakek begitu bersedih hati melalui sebuah cerita saja. Ajo Sidi tak pernah mengutuk Kakek secara langsung, namun melalui ceritanya ia memberikan pandangan dan keberpihakan yang jelas terhadap bagaimana Kakek menjalani hidup. Dalam hal ini, Ajo Sidi menggunakan ceritanya sebagai sindiran bagi perilaku Kakek yang dianggapnya terlalu lurus dan hanya memprioritaskan Tuhan. Berbeda dengan Kakek yang dipenuhi rasa sentimen, Ajo Sidi bersikap pragmatis. Hal ini tampak pada penggalan cerpen berikut. Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa dengan istrinya saja. Lalu aku tanya dia. “Ia sudah pergi,” jawab istri Ajo Sidi. “Tidak ia tahu Kakek meninggal?” “Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis.” “Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab, “dan sekarang kemana dia?” “Kerja.” “Kerja?” tanyaku mengulangi hampa. “Ya, dia pergi kerja.” Navis, 1965149–150 Tokoh Ajo Sidi seolah tidak pernah benar-benar memedulikan efek yang ditimbulkan oleh perilakunya sehingga menganggap meninggalnya Kakek merupakan hal yang biasa. Ia tak mengacuhkan fakta bahwa Kakek sangat jengkel Rudi Ekasiswanto, Analisis Cerpen “Robohnya Surau Kami” dalam perspektif Posmodernisme Linda Hutcheon SASDAYA Gadjah Mada Journal of Hunaities Vol. 4. 2020 38 terhadapnya beberapa hari belakangan dan tak sedikitpun meminta maaf terhadap apa yang diceritakannya itu. Ia merupakan simbolisasi dinamika jaman yang terus berubah, tak peduli dengan apa yang digerusnya selama itu memuat tujuan akhir yang ingin dicapai. Hal ini diceritakan oleh tokoh aku sebagai berikut. Secepat anak-anak berlari di dalamnya, secepat perempuan mencopoti pekayuannya. Dan yang terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak dijaga lagi. Dan biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya. Beginilah kisahnya. Navis, 1965140–141 Dalam penggalan cerpen di atas, tokoh aku menunjukkan akibat dari keahlian Ajo Sidi bersilat lidah tanpa mempertimbangkan lebih jauh efek yang akan ditimbulkannya bagi kehidupan seorang garin maupun keberlangsungan umat muslim. Meski demikian, tokoh aku pun diam-diam menyetujui pendapat Ajo Sidi. Meski digambarkan sebagai tokoh netral yang mampu menjawab dan melintasi permasalahan sudut pandang, tokoh aku menceritakan bagiamana sikap Kakek yang kaku terutama dalam menanggapi segala sesuatu berakhir dengan kerugian Kakek sendiri. Sebaliknya, ia bersimpati kepada Kakek karena baginya, lebih mudah menghadirkan penghiburan daripada mengusik prinsip hidup Kakek yang selama ini bersahaja. Tokoh aku berpendapat bahwa apabila Ajo Sidi tidak membualkan cerita tersebut, Kakek tetap baik-baik saja. Robohnya Surau Kami memuat cerita berlapis. Pangkal segala permasalahan dalam cerpen ini ialah cerita bualan Ajo Sidi tentang bagaimana haji yang taat beribadah bernama Haji Saleh dihisab di akhirat kelak. Cerita inilah yang membuat Kakek gusar hingga akhirnya bunuh diri. Cerita ini juga memiliki pusat dan pinggirannya sendiri. Dalam hal ini, pusat digambarkan oleh Tuhan dan malaikat, sementara pinggiran diwujudkan dalam bentuk Haji Saleh dan kawan-kawannya sesama orang yang rajin beribadah. Alangkah tercengang Haji Saleh, karena di neraka itu banyak teman-temannya di dunia terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan ia tambah tak mengerti dengan keadaan dirinya, karena semua orang yang dilihatnya di neraka itu tak kurang ibadatnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang yang telah sampai empat belas kali ke Mekah dan bergelar syekh pula. Lalu Haji Saleh mendekati mereka, dan bertanya kenapa mereka dinerakakan semuanya. Tapi sebagaimana Haji Saleh, orang-orang itu pun, tak mengerti juga. “Bagaimana Tuhan kita ini?” kata Haji Saleh kemudian, “bukankah kita disuruh-Nya taat beribadat, teguh beriman? Dan itu semua sudah kita kerjakan selama hidup kita. Tapi kini kita dimasukkan-Nya ke neraka.” Navis, 1965145 Pada penggalan cerpen Robohnya Surau Kami di atas, Haji Saleh mengumpulkan orang-orang yang dikenalnya rajin beribadah dan dimasukkan ke neraka. Ia mulai mempertanyakan keadilan Tuhan. Dengan teguh ia mempercayai keyakinannya, bahwa segala amal perbuatannya takkan berdusta dan sebenarnya ia berhak berada di surga sebab tak sedikitpun ia berhenti memuja Tuhan di masa hidupnya. Maka hal ini membuatnya pongah dan sombong. Daripada penghakiman Tuhan, ia lebih mempercayai perhitungannya sendiri yang dilandasi keserakahan serta rasa pamrih. Haji Saleh yang menjadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara yang menggeletar dan berirama rendah, ia memulai pidatonya “O, Tuhan Rudi Ekasiswanto, Analisis Cerpen “Robohnya Surau Kami” dalam perspektif Posmodernisme Linda Hutcheon SASDAYA Gadjah Mada Journal of Hunaities Vol. 4. 2020 39 kami yang Mahabesar. Kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat beribadat, yang paling taat menyembahmu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran-Mu, mempropagandakan keadilan-Mu, dan lain-lainnya. Kitab-Mu kami hafal di luar kepala kami. Tak sesat sedikitpun kami membacanya. Akan tetapi, Tuhanku yang Mahakuasa setelah kami Engkau panggil kemari, Engkau memasukkan kami ke neraka. Maka sebelum terjadi hal-hal yang tak diingini, maka di sini, atas nama orang-orang yang cinta pada-Mu, kami menuntut agar hukuman yang Kaujatuhkan kepada kami ke surga sebagaimana yang Engkau janjikan dalam Kitab-Mu.” Navis, 1965146–147 Meski merasa bahwa dirinya adalah korban dari kesalahan Tuhan, Haji Saleh tetap menggunakan metode protes yang santun dan terhormat. Ia mengakui kebesaran Tuhan dan beribadah kepada Tuhan sepenuh hati selama masa hidupnya. Penggalan cerpen di atas menunjukkan sikap inferior Haji Saleh. Kendatipun ia merasa bahwa dirinya selayaknya masuk surga sebab ia tak kurang-kurang dalam beribadah, ia tetap merendah dan menuntut janji Tuhan dengan cara yang dianggapnya diplomatis. Hal ini mencerminkan pinggiran, yang sebagaimanapun kuatnya ia berusaha, pusat yang akan menentukan segalanya. Pusat dalam cerita ini digambarkan sebagai pusaran kosmis yang bagaimanapun memiliki perbedaan pandangan dengan pinggiran. Sebaliknya, sekuat apapun pinggiran berusaha, upayanya akhirnya tidak berpengaruh dan dijatuhkan oleh pusat. “Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk di sembah saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. Hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya!” Navis, 1965 148 “Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami, menyembah Tuhan di dunia?” tanya Haji Saleh. “Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat sembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak isterimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun.” Navis, 1965149 Sementara pada penggalan cerpen Robohnya Surau Kami di atas, Tuhan berkuasa penuh sebagai pusat. Meskipun ia tetap mewajibkan umat-Nya untuk beribadah, nyatanya ibadah yang dimaksudkannya adalah bagaimana manusia selaras dalam memelihara keluarga, lingkungan, masyarakat, dan sumber daya di sekitarnya. Daripada menunjukkan keinginan untuk dihormati dan dipuja terus-menerus, Tuhan digambarkan mampu menilai dengan seadil-adilnya terutama berkenaan dengan kelemahan yang luput dari sorot mata manusia. Hal ini tak urung Rudi Ekasiswanto, Analisis Cerpen “Robohnya Surau Kami” dalam perspektif Posmodernisme Linda Hutcheon SASDAYA Gadjah Mada Journal of Hunaities Vol. 4. 2020 40 juga membuat gagasan pusat dipertanyakan. Menurut Hutcheon 1988 58, ini adalah salah satu ciri posmodernisme. Dalam cerpen Robohnya Surau Kami, Navis mempertanyakan otonomi, kepastian, otoritas, dan lain-lain yang selama ini menjadi perspektif ideal. Bentuk-bentuk pertanyaan itu terwujud dalam pinggiran/minoritas. Jika selama ini penyerahan penuh dalam bentuk ibadah yang terus menerus kepada Tuhan dianggap sebagai penebus surga di hari akhir, Navis menantang wacana ini dengan memunculkan unsur pusat dan unsur pinggiran. Sebaliknya, Navis memilih menyuarakan pengarang melalui tokoh aku agar mampu menunjukkan kelebihan dan kelemahan masing-masing perspektif akan pusat dan pinggiran tersebut. Pada akhirnya, bagaimanapun juga usaha manusia untuk menuju ke surga, Tuhan adalah kekuatan absolut yang mampu menyelami hati manusia secara lebih dalam. Hal ini senada dengan salah satu prinsip posmodernisme, yakni pengarang tidak menggerakkan pinggiran untuk menjadi pusat Hutcheon, 198869. Pinggiran hanya dapat mempertanyakan maupun mengkritik pusat. Dalam cerpen Robohnya Surau Kami, unsur-unsur pinggiran muncul sebagai pihak yang mempertanyakan pusat. Kakek yang seumur hidupnya menjadi garin dan selalu berdoa kepada Tuhan sama dengan keberadaan Haji Saleh dan kawan-kawannya, sementara Ajo Sidi yang akhirnya mengubah pandangan Kakek itu sama dengan Tuhan yang menerapkan kontrol dan kuasa penuh terhadap segala sesuatu yang terjadi. KONTEKSTUALISASI ROBOHNYA SURAU KAMI CERMIN UMAT BERAGAMA, ARABISASI, DAN NILAI-NILAI SOSIAL SEORANG MUSLIM Kontekstualisasi diperlukan dalam teori posmodernisme untuk memenuhi kewajibannya sebagai salah satu penunjuk dengan relevansi masa kini. Hal-hal dinarasikan sesuai dengan kehendak penulis dengan tujuan untuk memuat ideologi yang ingin disampaikannya. Ideologi ini dapat berarti tujuan, maksud, atau cara tertentu yang dapat dipahami melalui kontekstualisasi. Menurut Hutcheon 198875, dalam metafiksi historiografi, diperlukan pengondisian karya ke muatan tekstualnya itu sendiri dan pengondisian dengan konteks historis, sosial, dan politik sebagaimana intertekstualitas yang lebih luas. Hubungan dengan konteks historis, sosial, dan politik ini diimplikasikan oleh sebagaimana muatan tekstual tersebut terwujud dan dimaksudkan. Kontekstualisasi membuat fiksi posmodern terhindar dari tujuan nostalgia dan menjadi sebuah karya sastra yang kritis serta bermakna. Sebab dalam ranah teoretis, narasi disadari sebagai struktur buatan manusia, bukan sebagai bentuk yang muncul dengan sendirinya. Baik itu representasi historis atau fiksional, bentuk narasi awal, tengah, dan akhir yang umum menyiratkan proses penstrukturan yang menciptakan makna dan sekaligus tatanan Hutcheon, 2004 97. Cerpen Robohnya Surau Kami karya A. A. Navis memuat gagasan tentang sosial kemasyarakatan sebagai salah satu aspek spiritual dalam diri manusia yang dipertanyakan dalam ranah agama. Dari konteks historisnya, A. A. Navis Rudi Ekasiswanto, Analisis Cerpen “Robohnya Surau Kami” dalam perspektif Posmodernisme Linda Hutcheon SASDAYA Gadjah Mada Journal of Hunaities Vol. 4. 2020 41 mencerminkan kehidupan rakyat pada masa terbit karya yang dapat direlevansikan dengan masa sekarang. Sebagai penjaga surau, Kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang dipungutnya sekali se-Jumat. Sekali enam bulan ia mendapat seperempat dari hasil pemungutan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan fitrah Id kepadanya. Tapi sebagai garin ia tak begitu dikenal. Ia lebih di kenal sebagai pengasah pisau. Karena ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tak pernah minta imbalan apa-apa. Orang-orang perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering diterimanya ialah ucapan terima kasih dan sedikit senyum. Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu tanpa penjaganya. Hingga anak-anak menggunakannya sebagai tempat bermain, memainkan segala apa yang disukai mereka. Perempuan yang kehabisan kayu bakar, sering suka mencopoti papan dinding atau lantai di malam hari. Navis, 1965 140 Pada masa itu, sulitnya perekonomian Indonesia bahkan tampak pada karya-karya sastranya. Indonesia di tahun 1950-an menjadi cermin indikasi negara berkembang pertumbuhan ekonomi yang tidak stabil dan tidak meratanya sistem pembangunan sehingga Jakarta sebagai ibukota menarik banyak minat pencari nafkah. Melalui penggalan cerpen Robohnya Surau Kami di Atas, Navis menggambarkan kesenjangan ini dengan menceritakan kondisi kampungnya. Ia menceritakan sosok Kakek yang dapat kita temui sehari-hari dalam kondisi serba kekurangan. Meski demikian, Kakek tak pernah ingin mengejar kesuksesan duniawi, dan sebaliknya ia hidup menyatu dengan surau hingga begitu ia meninggal, surau itu tampak kehilangan pilar penyokong. Pandangan Navis terefleksikan pada tokoh Kakek, di mana surau memegang peranan penting di kampung-kampung kecil yang hidup seadanya. Surau berperan sebagai simbol iman, simbol magis, bahkan simbol pemenuhan fungsi yang dapat beragam sesuai dengan kultur dan ketersediaan sumber daya. Melalui Robohnya Surau Kami, Navis mengungkapkan kegelisahannya tentang bagaimana akhirnya surau-surau yang dulunya demikian terhormat itu akhirnya roboh atau hilang. Ia tak lagi dimaknai sebagai entitas yang suci dan digunakan sesuai fungsi dasarnya, melainkan akhirnya berakhir sebagai onggokan bangunan yang tak bertuan. Kegelisahan Navis ini bukan tidak beralasan. Di tahun-tahun awal kemerdekaan, gairah politik Indonesia masih berkobar untuk menentukan haluannya. Partai-partai politik yang muncul mati-matian membawa ideologinya masing-masing untuk disebarluaskan di Indonesia hingga tak terhitung berapa ujaran kebencian yang muncul akan suatu golongan. Bagi Navis, sikap ini menunjukkan degradasi manusia, terutama mereka yang mengaku beragama Islam. Sebagai tahun pemilu, 1955 memuat rekam jejak bagaimana politik berhasil menyusupi sendi-sendi masyarakat, bahkan aspek budaya dan agama. Meski tidak mengutarakannya secara eksplisit, Navis berpendapat bahwa hilangnya peran surau yang mengayomi masyarakat dalam makna simbolik itu merupakan akumulasi dari segala bentuk perbuatan manusia yang mulai mengacuhkan sesama dan Rudi Ekasiswanto, Analisis Cerpen “Robohnya Surau Kami” dalam perspektif Posmodernisme Linda Hutcheon SASDAYA Gadjah Mada Journal of Hunaities Vol. 4. 2020 42 memperjuangkan wacana masing-masing. Pada masa ini, segala sesuatu dipandang sebagai ciri fungsionalitas semata untuk memenuhi kebutuhan manusia. Hal ini relevan sebab di masa sekarang, Robohnya Surau Kami masih dapat dibaca dan disadari kebenarannya. Ia tidak membuai pembaca pada tujuan nostalgia, melainkan memberikan pemaknaan yang baru sesuai dengan konteks yang tengah terjadi. 2019 sebagaimana tahun pemilu pun dipenuhi dengan ujaran kebencian antargolongan. Surau-surau telah tergantikan masjid-masjid megah yang kekurangan jamaah sehingga keberadaan pusat ritual agama hanya dijalankan secara fungsinya daripada benar-benar menjadi nafas masyarakat di sekitarnya. Meski demikian, hal ini bukan berarti menunjukkan penurunan umat beragama di Indonesia. Sebaliknya, dilansir dari lama berita BBC, Indonesia merupakan negara yang rakyatnya paling mendukung pentingnya agama. Hal ini didukung riset dari Varkey Foundation, sebuah lembaga yang berfokus pada peningkatan standar pendidikan untuk anak-anak terutama dari keluarga miskin, menyatakan bahwa 93 persen warga Indonesia yang berusia 17–23 tahun menganggap agama adalah faktor penting kehidupan yang menentukan kualitas dan kebahagiaan hidup mereka. Pada era sekarang, agama selain berperan sebagai tuntunan hidup, juga dapat menjadi gaya hidup yang menginspirasi banyak orang terutama berkat peran media sosial. Sayangnya hal ini tidak dibarengi dengan keseriusan pemerintah maupun pemuka umat beragama utuk menangkal penyebaran radikalisme dan fanatisme sebagai bentuk penyimpangan kegiatan beragama. Secara lebih lanjut, radikalisme dan fanatisme agama menyebabkan kesenjangan antar umat beragama di Indonesia, terutama jika didukung premis-premis yang dekat dengan kehidupan individu seperti corong ideologi lain yang dianggap sesat, ketimpangan ekonomi, dan gagalnya keadilan sosial. Bahkan, menurut jurnalis Pedersen 2016 390, upaya-upaya yang terkandung dalam peraturan pemerintah dengan tujuan untuk mengurangi kekerasan dan mengukuhkan agama dengan damai tidak berhasil. Dengan demikian dapat dipahami bahwa pesan yang ingin disampaikan Navis tidak berbatas pada umat Islam semata, tetapi sesuai konteksnya dengan hubungan umat beragama sebagai sesama manusia. Melalui Robohnya Surau Kami, A. A. Navis ingin kembali mengingatkan akan nilai kehidupan manusia yang seyogyanya saling menjaga, saling melindungi, dan saling mengayomi satu sama lain laiknya peran surau pada masa itu. “Sedari muda aku di sini, bukan? Tak kuingat punya isteri, punya anak, punya keluarga seperti orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah Subhanahuwataala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka. Marahkah Tuhan kalau itu yang kulakukan, sangkamu? Akan dikutukinya aku kalau selama hidupku aku mengabdi kepada-Nya? Tak kupikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih dan penyayang kepada umatnya yang tawakal. Artikel Sattwika Duhita berjudul “Alasan Generasi Z Indonesia Paling Fanatik Beragama Dibanding Negara Lain” yang dimuat dalam Vice Indonesia 30 Mei 2018 Rudi Ekasiswanto, Analisis Cerpen “Robohnya Surau Kami” dalam perspektif Posmodernisme Linda Hutcheon SASDAYA Gadjah Mada Journal of Hunaities Vol. 4. 2020 43 Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul beduk membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepada-Nya. Aku sembahyang setiap waktu. Aku puji-puji Dia. Aku baca Kitab-Nya. Alhamdulillah kataku bila aku menerima karunia-Nya. Astagfirullah kataku bila aku terkejut. Masya Allah kataku bila aku kagum. Apa salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk." Navis, 1965142–143 Nilai yang ingin disampaikan Navis tersebut tampak eksplisit pada penggalan cerpen di atas. Melalui tokoh Kakek, Navis memberikan ruang bagi orang-orang yang mengagungkan agama dengan cara yang dianggapnya kurang benar’. Bagi orang-orang itu, kehidupan yang diberikan Yang Maha Kuasa seyogyanya dikembalikan dengan cara mengabdi sepenuh hati selalu memuji-muji Tuhan sepanjang waktu tanpa mengurus kepentingan duniawi. Jika ditulusuri lebih lanjut, apa yang diungkapkan tokoh Kakek di atas sama dengan rasa pamrih. Banyak orang beragama, yang dicerminkan melalui tokoh Kakek, rajin berdoa dan memuja Tuhan karena berharap akan masuk surga. Orang-orang seperti ini menghayati betul segala tata cara beribadah kepada Tuhan, seperti mengikuti perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Pada masa sekarang, ketaatan sedemikian rupa perlu diiringi dengan kebijakan berperilaku. Pada penggalan cerpen di atas, Kakek berkata bahwa ia mengekspresikan segala perasaannya sebisa mungkin dalam bahasa Arab. Meski frasa-frasa tersebut lazim diucapkan umat muslim sehari-hari, namun kecenderungan Kakek dengan menganggap bahwa hal tersebut merupakan kewajiban adalah salah satu dari bentuk arabisasi. Arabisasi merupakan pertumbuhan budaya Arab pada populasi non-Arab, dalam hal ini umat Islam sebagai pemeluk agama yang teks-teks rujukannya mayoritas menggunakan bahasa Arab. Arab sebagai tradisi dengan Islam sebagai ajaran agama adalah dua hal yang berbeda. Sebagai sebuah bangsa, tradisi Arab tentu dipengaruhi oleh manusia, lingkungan hidup, dan kulturnya yang berbeda dari Indonesia. Berdasarkan landasan etnografi tersebut, Navis menganjurkan kita untuk bisa memahami perbedaan ini dan bijak dalam menyikapi masuknya budaya-budaya luar di Indonesia. “Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadah saja, karena beribadah tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk di sembah saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya!" Navis, 1965148 Pandangan Navis tampak secara eksplisit pada representasi dirinya dalam tokoh Tuhan yang dapat dilihat pada penggalan cerpen di atas. Bagi Navis, kegigihan manusia untuk berdoa sepanjang waktu tidak ada gunanya apabila tidak peduli terhadap lingkungan dan sesama. Hal ini bukan semata-mata murni Artikel Dedik Priyanto berjudul “Salah Kaprah Arabisasi Islam Indonesia” di laman pada 7 Januari 2018 Rudi Ekasiswanto, Analisis Cerpen “Robohnya Surau Kami” dalam perspektif Posmodernisme Linda Hutcheon SASDAYA Gadjah Mada Journal of Hunaities Vol. 4. 2020 44 pandangan Navis, melainkan juga telah dianjurkan oleh Islam dengan dalil hablum minallah wa hablum minannas yang berarti menjaga hubungan dengan Allah dan menjaga hubungan dengan sesama manusia. Sejatinya, tingkat keimanan manusia tidak semata diukur dari kuantitas ibadah berupa doa dan puji-pujian semata, tetapi juga ibadah sebagai bentuk bakti diri terhadap lingkungan dan sesamanya. Yang tak dapat dihindarkan dalam setiap penelitian fiksi posmodern adalah bagaimana menemukan hubungan dengan konteks yang signifikan Hutcheon, 1988 82. Menurut van Dijk dalam Hutcheon, 198882, teks-teks posmodern mengarahkan pembaca untuk mempertimbangkan wacana atau bahasa yang digunakan. Di dalamnya, wacana dikontekstualisasikan sebagai modus interaksi dalam situasi sosial budaya yang sangat kompleks Meidiana, 201618. Cerpen Robohnya Surau Kami karya A. A. Navis memberikan perspektif yang berbeda dari aspek intra agama itu sendiri, yang di dalamnya tidak hanya diatur tata cara beribadah melalui doa, tetapi juga menganjurkan manusia untuk menyayangi sesama dan merawat lingkungannya. Pada masa sekarang, maksud yang ditujukan oleh A. A. Navis cukup beragam dalam berbagai lini kehidupan. Baru-baru ini kita mendapati fenomena Kementerian Agama RI yang dilanda badai korupsi dalam bentuk penyelewengan dana pengadaan kitab suci, penolakan terhadap budaya sendiri dan digantikan oleh gaya hidup kearab-araban, maupun sentimen antarumat beragama yang menghasilkan bentrok maupun kericuhan di berbagai daerah. Meski tidak secara langsung menyindir dan menentang wacana-wacana ini, media karya sastra yang digunakan Navis dapat memuat identifikasi situasi masyarakat sosial, politik, budaya, dll ketika karya tersebut diproduksi serta kesinambungan dan relevansinya dengan masa karya tersebut dipahami/dibaca, yakni masa kini. Hal ini senada dengan pendapat Hutcheon 1988 80 yang menyatakan bahwa fiksi posmodern tidak membatasi investigasi pada pembaca dan teks semata, tetapi juga proses produksi karya tersebut. Dalam proses produksi tersebut, motif dan tujuan penulis akan memperkuat relevansi karya. Dalam cerpen Robohnya Surau Kami, misalnya, A. A. Navis secara kontinu mempresentasikan gagasannya tentang ketimpangan akhlak orang-orang yang mengaku beragama, terutama muslim. Berkenaan dengan hal tersebut, Hutcheon 1988 75 berpendapat sebagai berikut. The self-conscious theorizing and historicizing of theory by writers such as Edward Said, Terry Eagleton, Teresa de Lauretis, Frank Lentricchia, and, of course, Michel Foucault, have been working in much the same manner as have contemporary art forms such as historiographic metafiction both have foregrounded the need to break out of the still prevailing paradigms—formalist and humanist—and to―situate both art and theory in two important contexts. They must be situated, first, within the enunciative act itself, and second, within the broader historical, social, and political as well as intertextual context implied by that act and in which both theory and practice take root. Kecenderungan yang dilakukan oleh penulis-penulis besar lainnya dalam penulisan metafiksi historiografis ialah memosisikan karya maupun teori dalam dua konteks penting pengondisian karya dalam tindak aplikasinya dan pengondisian Tulisan Zulman berjudul “Hablum Minallah wa Hablum Minannas” dalam https//bdkpadang/ Rudi Ekasiswanto, Analisis Cerpen “Robohnya Surau Kami” dalam perspektif Posmodernisme Linda Hutcheon SASDAYA Gadjah Mada Journal of Hunaities Vol. 4. 2020 45 karya dengan konteks historis, sosial, dan politis yang diimplikasikan dalam karya tersebut. Dengan demikian, fiksi posmodern selain menitikberatkan pada substansinya sebagai karya sastra, juga memiliki keterkaitan yang erat dengan situasi yang lebih luas. Dalam hal ini, cerpen Robohnya Surau Kami karya A. A. Navis mampu memosisikan karya dengan kondisi saat ini. SIMPULAN Analisis ini menyimpulkan bahwa Robohnya Surau Kami adalah sastra religi yang dapat dikaji dari perspektif posmodern. Kajian itu menunjukkan bahwa Robohnya Surau Kami adalah termasuk fiksi posmodern. Ia tidak menunjukkan representasi otomatis maupun sebatas usaha-usaha deskriptif saja, namun juga kritis dalam relasi ironinya terhadap masa lalu maupun masa depan. Hal ini ditunjukkan melalui pemilihan sudut pandang, struktur kebakuan referensi, dan kemampuannya untuk tidak terikat pada ruang temporal. Sebagai fiksi posmodern, Robohnya Surau Kami memuat unsur-unsur berupa fakta cerita, pusat dan pinggiran, serta kontekstualisasi. Fakta cerita Robohnya Surau Kami memuat interdiskursivitas dengan kajian-kajian keagamaan, terutama Alquran pada ayat-ayat tentang hari akhir, surga, dan neraka. Pusat dalam cerpen Robohnya Surau Kami direpresentasikan oleh tokoh Ajo Sidi dan Tuhan. Tokoh aku yang berperan sebagai narator pun sedikit banyak menunjukkan persetujuannya terhadap pandangan tokoh-tokoh pusat tersebut. Sementara pinggiran dalam cerpen ini ditunjukkan oleh tokoh Kakek dan Haji Saleh. Keberadaan tokoh pinggiran adalah sebagai unsur yang mempertanyakan pusat; baik perilaku, kebijakan, bahkan eksistensinya. Namun tetap tidak bisa menggerakkan pusat. Kontekstualisasi cerpen Robohnya Surau Kami menghasilkan relevansi dengan tiga isu pada masa kini, yakni sebagai cermin situasi dan kondisi umat beragama yang dipenuhi kesenjangan akibat berbagai faktor kehidupan, maraknya arabisasi yang bahkan mampu menggerus identitas kenusantaraan, dan meneguhkan kembali nilai-nilai yang selayaknya dimiliki oleh seorang muslim dengan tidak meninggalkan ibadah maupun sosialnya–sebaliknya, merawat kehidupan sosial pun termasuk dalam ibadah–. Dengan demikian dapat dipahami bahwa menelaah Robohnya Surau Kami dengan teori posmodernisme menunjukkan bahwa pelajaran penting dari posmodernisme adalah perlunya penelitian yang lebih dari sekadar teks dan pembaca untuk mengaktifkan proses pemberian makna atas suatu karya agar apa yang disampaikan dalam karya tersebut mendapat pelekatan makna yang sebenar-benarnya. Rudi Ekasiswanto, Analisis Cerpen “Robohnya Surau Kami” dalam perspektif Posmodernisme Linda Hutcheon SASDAYA Gadjah Mada Journal of Hunaities Vol. 4. 2020 46 DAFTAR PUSTAKA Faruk. 2015. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta Pustaka Pelajar. Goodman, Paul. 1977. Creator Spirit Come! The Literary Essay of Paul Goodman. New York Dutton. Herfanda, Ahmadun Yosi. 2008. Sastra sebagai Agen Perubahan Budaya. Dalam Anwar Efendi Ed.. 2008. Bahasa dan Sastra dalam Berbagai Perspektif. Hlm. 132. Yogyakarta Tiara Wacana. Heryanto, Ariel. 2018. Identitas dan Kenikmatan. Jakarta Kepustakaan Populer Gramedia. Hutcheon, Linda. 1988. A Poetics of Posmodernism. London Routledge. -. 2004. Politik Posmodernisme Linda Hutcheon. Terjemahan oleh Apri Danarto dari Politics of Posmodernism 1989. Yogyakarta Jendela. Kuntowijoyo. 2006. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta Tiara Wacana. Mangunwijaya, Y. B. 1982. Sastra dan Religiositas. Jakarta Sinar Harapan. McHale, Brian. 1991. Postmodernist Fiction. London Routledge. Miola, Robert S. 2004. “Seven Types of Intertextuality”. Dalam Michele Marrapodi Ed.. 2004. Shakespeare, Italy, and Intertextuality. Hlm. 13–25. New York Manchester University Press. Pedersen, Lene. 2016. “Religious Pluralism in Indonesia”. Dalam The Asia Pacific Journal of Anthropology Volume 17 387–398. 2016. Prihatmi, Th. dan Sr. Rahayu. 1999. “Gerakan yang Merongrong Tradisi Realisme Makna dan Fungsinya”. Pidato ini disampaikan pada acara pengukuhan jabatan Guru Besar dalam ilmu kesusasteraan Indonesia Modern di Fakultas Sastra Universitas Diponegoro. Semarang Tidak Diterbitkan. Pujiharto. 2010. Pengantar Teori Fiksi. Yogyakarta Elmatera. Sarup, M. 2003. Poststrukturalisme dan Posmodernisme Sebuah Pengantar Kritis. Terjemahan oleh Medhy Aginta Hidayat dari An Introductory Guide to Post-Structuralism and Postmodernism. Yogyakarta Jendela. Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra. Jakarta Pustaka Jaya. Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan. Terjemahan oleh Melanie Budianta dari Theory of Literature. Jakarta Gramedia. White, Edward. 1972. The Pop Culture Tradition Readings with Analysis for Writing. New York Norton and Company, Inc. Rudi Ekasiswanto, Analisis Cerpen “Robohnya Surau Kami” dalam perspektif Posmodernisme Linda Hutcheon SASDAYA Gadjah Mada Journal of Hunaities Vol. 4. 2020 47 Daftar Laman Duhita, Sattwika. 2018. Alasan Generasi Z Indonesia Paling Fanatik Beragama Dibanding NegaraLain. Diakses pada 13 Juni 2019. Priyanto, Dedik. 2018. Salah Kaprah Arabisasi Islam Indonesia. Diakses pada 13 Juni 2019. Zulman. Hablum Minallah wa Hablum Minannas. https//bdkpadang/ Diakses pada 28 Mei 2019. ... Selain penelitian intertekstual sebagaimana tersebut di atas, beberapa penelitian posmodernisme terhadap karya sastra Indonesia, antara lain, dilakukan oleh Faisal 2015, Fitriana 2017, Nurhidayah dan Setiawan 2019, Pujiharto 2005, Satriani 2016, Syafruddin 2010, Prihantono 2018, Fitria 2015, Supriyadi 2016, Ilham 2018, Ekasiswanto 2020, dan Humaidi 2015. ...This study aims to discover the intertextuality of the poem "Kampung" by Subagio Sastrowardojo and the short story "Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi" by Seno Gumira Ajidarma. The problem discussed is the realization of the short story text of "Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi" as a postmodernist work seen in its aesthetic tool. The theoretical framework applied in this paper is intertextuality and postmodernism, while the method used is a qualitative method with a hermeneutic approach. The result of this study shows that "Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi" in fact substantially confirms the hypnogram, the problem of the individual conflict with the social environment. However, in a postmodernist style "Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi" demonstrates resistance to the former aesthetics or its hypogram and utilizes intertextuality by means of pastiche, kitsch, schizophrenia, and parody to express the poetic. In addition, the short story has also shifted the perspective differently than its hypogram by displaying the female protagonist as a victim of gender bias thus, it has a feminist atmosphere, while the hypogram represents lyrical characters identical to men. The last point is appropriate with the postmodernist obsession to voice the minorities and oppressed, including those who are ini bertujuan mengungkap intertekstualitas sajak “Kampung” karya Subagio Sastrowardojo dan cerpen “Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi” karya Seno Gumira Ajidarma. Masalah yang dibahas ialah bagaimana cerpen “Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi” sebagai cerpen posmodernis merealisasikan intertekstualitas sebagai puitika/sarana estetika posmodernis? Teori yang digunakan dalam penelitian ini ialah teori intertekstualitas dan posmodernisme. Metode yang digunakan ialah metode kualitatif dengan pendekatan hermeneutik. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa cerpen “Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi”, dari sisi substansi mengukuhkan hipogramnya, yakni masalah konflik individu dengan lingkungan sosialnya. Namun, sebagai cerpen posmodernis, “Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi” melakukan “perlawanan” terhadap estetika hipogramnya dan memanfaatkan intertekstualitas dengan sarana pastiche, kitsch, skizofrenia, dan parodi untuk mewujudkan puitikanya. Selain itu, cerpen tersebut juga telah melakukan pergeseran perspektif terhadap hipogramnya dengan menampilkan protagonis perempuan sebagai seorang korban bias gender sehingga cerpen ini beratmosfer feminis, sementara hipogramnya merepresentasikan tokoh lirik yang identik dengan laki-laki. Hal terakhir ini sejalan dengan obsesi kaum posmodernis untuk menyuarakan pembelaan terhadap kaum minoritas dan tertindas, termasuk mereka yang tersisih secara Sosiologi Sastra. Yogyakarta Pustaka PelajarFarukFaruk. 2015. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta Pustaka Spirit Come! The Literary Essay of Paul GoodmanPaul GoodmanGoodman, Paul. 1977. Creator Spirit Come! The Literary Essay of Paul Goodman. New York sebagai Agen Perubahan BudayaAhmadun HerfandaYosiHerfanda, Ahmadun Yosi. 2008. Sastra sebagai Agen Perubahan Budaya. Dalam Anwar Efendi Ed.. 2008. Bahasa dan Sastra dalam Berbagai Perspektif. Hlm. 132. Yogyakarta Tiara Posmodernisme Linda Hutcheon. Terjemahan oleh Apri Danarto dari Politics of PosmodernismLinda HutcheonHutcheon, Linda. 1988. A Poetics of Posmodernism. London Routledge. -. 2004. Politik Posmodernisme Linda Hutcheon. Terjemahan oleh Apri Danarto dari Politics of Posmodernism 1989. Yogyakarta Fiction. London RoutledgeBrian MchaleMcHale, Brian. 1991. Postmodernist Fiction. London Types of IntertextualityRobert S MiolaMiola, Robert S. 2004. "Seven Types of Intertextuality". Dalam Michele Marrapodi Ed..PujihartoPujiharto. 2010. Pengantar Teori Fiksi. Yogyakarta dan Posmodernisme Sebuah Pengantar Kritis. Terjemahan oleh Medhy Aginta Hidayat dari An Introductory Guide to Post-Structuralism and PostmodernismM SarupSarup, M. 2003. Poststrukturalisme dan Posmodernisme Sebuah Pengantar Kritis. Terjemahan oleh Medhy Aginta Hidayat dari An Introductory Guide to Post-Structuralism and Postmodernism. Yogyakarta Jendela.
SinopsisNovel "Kemarau" Karya A.A. Navis --- Kemarau merupakan roman karya A.A. Navis yang pertama, yang diterbitkan pertama kali oleh Pustaka Jaya pada tahun 1957. Para petaui semakin merasa berputus asa atas musim kemarau panjang yang sedang menimpa negeri ini. Sawah dan ladang mereka sangat kering dan cuaca panas sangat menyengat tubuh.
The purpose of this study is to compare literary works in the novel Kemarau by Navis and the novel The dry by Jane Harper. The method used in this research is descriptive qualitative research method. In the management of the data generated using the analysis of the theory of sociology of literature. This study uses a comparison table contained in the novel Kemarau by Navis and the novel The Dry by Jane Harper. The results of comparison of social values contained in the two novels, the novel Kemarau by Navis explains social values and the values about life contained in the novel Kemarau by Navis. Meanwhile, Jane Harper's novel The Dry is quite the opposite, but there are still moral values inserted. Through this research, it is hoped that it can increase reader's interest in literary works, and can increase the interest of researchers in comparative literary research. Keywords Novel, Comparative Literature, Drought, Fiction. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free SEBASA Vol. 5 No. 1, Mei 2022 Hal. 71-79 SeBaSa Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Mei 2022 SASTRA BANDING NOVEL KEMARAU KARYA NAVIS DENGAN NOVEL THE DRY KARYA JANE HARPER Adya Nitami 1, Dian Hartati 2 1,2,3 Universitas Singaperbangsa Karawang Received 2022-02-25Reviewed 2022-04-29Accepted 2022-05-05 The purpose of this study is to compare literary works in the novel Kemarau by Navis and the novel The dry by Jane Harper. The method used in this research is descriptive qualitative research method. In the management of the data generated using the analysis of the theory of sociology of literature. This study uses a comparison table contained in the novel Kemarau by Navis and the novel The Dry by Jane Harper. The results of comparison of social values contained in the two novels, the novel Kemarau by Navis explains social values and the values about life contained in the novel Kemarau by Navis. Meanwhile, Jane Harper's novel The Dry is quite the opposite, but there are still moral values inserted. Through this research, it is hoped that it can increase reader's interest in literary works, and can increase the interest of researchers in comparative literary research.. Novel, Comparative Literature, Drought, Fiction. 1810631080096 PENDAHULUAN Penelitian berkaitan pada perbandingan karya sastra lokal dan karya sastra luar, peneliti mengkaji nilai-nilai sosial yang terdapat pada novel Kemarau karya Navis dan novel The Dry karya Jane Harper dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Karena setiap karya sastra merupakan bentuk sebuah cerminan dari ekspresi diri manusia yang berbeda-beda tercermin dalam novel tersebut. Serta adanya penelitian ini, kita dapat memahami nilai-nilai sosial yang ada pada masyarakat, terutama pada hakikat kedudukan manusia dengan alam, serta memanusiakan manusia. Pada hakikatnya moral ialah perilaku baik/buruknya perilaku manusia terhadap lingkungan sekitar yang dapat mempengaruhi keadaan sekitar. Pada novel Kemarau karya Navis dengan The dry karya Jane Harper, terdapat nilai moral yang berkaitan dengan kemanusiaan terhadap sesama, maupun terhadap lingkungan keluarga. Pentingnya saling menjaga dan saling tolong-menolong serta pentingnya iman dalam kehidupan sangat berpengaruh dalam berperilaku. Pada novel Kemarau karya Navis terlihat jelas bahwa dengan adanya musibah kemarau berkepanjangan dapat terlihat nilai sosial yang ada, kebersamaan, ide kreatif, gotong-royong, sabar dapat terlihat jelas pada novel tersebut. SeBaSa Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Mei 2022 Sedangkan pada novel The dry karya Jane Harper, kekeringan pada iman mengakibatkan teka-teki dalam hidup, timbulkan penyakit hati pada saudara kandung mengakibatkan tidak adanya toleransi terhadap keluarga. Mengakibatkan adanya saling melukai bahkan saling membunuh sesama keluarga. Mengakibatkan pada novel tersebut kurangnya nilai moral disertai iman yang kuat. Novel merupakan karya sastra yang sekaligus disebut fiksi atau cerita rekaan. Menurut Nurgiyantoro 201510-13, novel mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu lebih banyak, lebih rinci, lebih detail, dan lebih banyak melibatkan berbagai permasalahan yang kompleks. Dibangun dengan menggunakan unsur pembangun atau dengan unsur-unsur cerita seperti unsur peristiwa, plot, tema, tokoh, latar, sudut pandang, dan lain-lain. Novel juga termasuk dalam jenis prosa, karena di dalam novel terdapat unsur fiksi atau sebuah rekaan. Menurut Aminnudin 201566 prosa fiksi adalah majas atau cerita yang diperankan oleh pelaku tertentu dengan tokoh, setting dan tahapan serta rangkaian cerita yang berangkat dari imajinasi pengarang sehingga menjadi sebuah cerita. Dalam prosa fiksi yang sering kita jumpai dalam bentuk cerpen, novel, roman, dan novelet yang berisi cerita dalam bentuk imajinasi dan novel merupakan salah satu jenis prosa fiksi yang dikenal oleh semua kalangan. Menurut Nurgiyantoro 20152 prosa adalah sebuah karya sastra yang berupa fiksi fiction, teks naratif narrative text, atau wacana naratif narrative discource, selain itu novel sering juga disebut sebagai prosa fiksi. Nurhasanah, 2014 Sastra adalah sebuah karya seni yang indah, dapat berupa tulisan dengan menggunakan Bahasa sebagai ide-ide yang imajinatif. Susastra berarti karangan atau lukisan yang baik dan indah. Kesusastraan berarti segala tulisan atau karangan yang mengandung nilai-nilai kebaikan yang ditulis dengan Bahasa yang indah. Sastra Sanskerta Shastra merupakan kata serapan dari Bahasa Sanskerta Sastra’, yang berarti “teks mengandung instruksi” “atau pedoman”, dari kata dasar Sas’ yang berarti “instruksi” atau “ajaran” dan Tra’ yang berarti “alat” atau “sarana”. Dalam Bahasa Indonesia kata ini bias digunakan untuk merujuk kepada “kesusastraan” atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti keindahan tertentu. Selain itu dalam arti kesusastraan, sastra bias dibagi menjadi sastra tertulis atau sastra lisan sastra oral. Menurut Swingewood dalam Faruk, 2017 1 mengatakan bahwa sosiologi adalah ilmu yang ilmiah dan bersifat objektif tentang manusia dan masyarakat, ilmu tentang pranata dan proses sosial. Jadi dapat dikatakan bahwa sosiologi sastra adalah ilmu yang mempelajari tentang masyarakat, perilaku sosial yang saling berhubungan dalam kehidupan bermasyarakat. Kurangnya penelitian terkait sastra banding yang berkaitan dengan karya sastra lokal dan karya sastra luar negeri membuat penulis meneliti hal tersebut. Hal ini dapat meningkatkan kualitas dunia sastra, terutama pada minat baca yang membuat ke seruan tersendiri bagi pembacanya, mengenai SeBaSa Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Mei 2022 perbandingan sebuah karya yang sangat luar biasa. Maka dari itu penelitian ini sangat penting untuk meningkatkan kualitas karya sastra pada perkembangan zaman, dan tentunya dapat meningkatkan minat baca terhadap karya sastra. Pada penelitian ini sangat diharapkan dapat menarik minat baca sehingga perkembangan literasi semakin berkembang. Maka dari itu dengan adanya penelitian ini dapat memicu peneliti lain, untuk meneliti mengenai sastra banding yang masih minim dalam penelitian. Pada penelitian ini sangat diharapkan adanya penelitian sastra banding yang lebih meluas untuk kedepannya. Perbandingan mengenai nilai-nilai sosial yang terdapat pada kedua novel memiliki pesan yang tersirat. Hal tersebut dapat diambil pada pesan moral yang disampaikan oleh penulis. Pada perbandingan karya sastra terdapat pembelajaran terutama mengenai kekeringan’ tentunya memiliki makna yang berbeda. Pada novel Kemarau dapat diartikan sebagai kekeringan dikarenakan musim kemarau, sedangkan pada novel The Dry mengenai kekeringan terhadap iman, dikarenakan adanya konflik hingga terjadinya pembunuhan. Relevansi data penelitian pernah dilakukan oleh Sanubari 2021 yang berjudul Kajian Ekspresif Terhadap Novel Kemarau Karya Navis. Penelitian ini fokus membahas kehidupan tokoh utama saja. Kenyataannya di balik itu, budaya, sindiran, dan ketaatan beragama dikemas dengan rapi di dalamnya. Hasil kajian menunjukkan karya sasra secara ekstrinsik ekspresif, kritik dari penulis karya terhadap prilaku manusia, pengenalan beberapa budaya Minangkabau, dan pengalaman pribadi Navis. Selain itu penelitian selanjutya dilakukan oleh Galang Garda 2020 dengan judul “Alam Takkambang Jadi Guru Pandangan Hidup Minangkabau Dalam Novel Kemarau Karya Navis”. Penelitian ini fokus dalam pembuktian realitas-realitas yang terdapat di dalam objek karya. Ada beberapa jenis realitas yang tercantum seperti pembahasan di atas. Realitas tersebut antara lain letak geografis yang relefan dengan salah satu kota di pulau Sumatra. Penggunaan kata dan gelar bagi laki-laki Minangkabau, misalnya saja sutan’. Sedikit reka adegan tradisi pinang-meminang bagi orang-orang Minangkabau. Otoritas Wali Negeri selaku Kepala Desa di lingkungan suku Minang. Terakhir adalah membicarakan soal sistem ijon’, yakni sistem pembagian hasil dari sistem kerja tradisional di Minangkabau. Sedangkan penelitian ini mengacu pada perbandingan dua novel yaitu novel Kemarau karya Navis dengan novel The Dry karya Jane Harper yang difokuskan pada komparasi nilai yang terkandung dalam kedua novel tersebut. Adanya penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan dengan judul yang sama, namun berbeda dalam pengarang menyampaikan pesan. Perbandingan karya sastra ini peneliti membandingkan karya sastra indonesia dengan karya sastra luar negeri. Bertujuan bahwa setiap SeBaSa Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Mei 2022 pengarang memiliki ciri khas yang berbeda-beda, maka dari itu upaya dilakukan dengan adanya penelitian ini bertujuan supaya pembaca dapat memahami setiap alur yang dikisahkan, serta adanya perbandingan yang sangat menarik, dan pesan secara implisit yang berbeda-beda, alur cerita yang dibuat rumit oleh penulis membuat karya sastra tersebut sangat menarik untuk dibaca. METODE Pada penelitian ini menggunakan metode deskripsi kualitatif dapat memberikan data secara alamiah serta dengan adanya sifat penafsiran secara alamiah dan penafsiran yang berbeda-beda. Terutama pada novel Kemarau karya Navis dengan The dry karya Jane Harper. Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu Sugiyono, 201830. Metode penelitian kualitatif sering disebut metode sebagai paradigma interpretif dan konstruktif, yang memandang realitas sosial sebagai sesuatu yang holistik/utuh, kompleks, dinamis, penuh makna, dan hubungan gejala bersifat interaktif Sugiyono, 201813. Penelitian ini mengangkat dua karya sastra yang akan dibandingkan dengan kajian sosiologi sastra. Menurut Soejono Sukanto dalam Wiyatmi 2013 6-7 Sosiologi secara umum mempelajari mengenai jenis gejala-gejala sosial. Sosiologi sastra adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara gejala sosial dengan gejala non sosial. Hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala sosial berupa gejala ekonomi, gejala keluarga, dan gejala moral. Metode yang digunakan dalam menganalisis novel Kemarau karya Navis dengan The dry karya Jane Harper yaitu metode kualitatif deskriptif. Pada metode ini merupakan prosedur penelitian yang dapat menghasilkan data deskriptif berupa uraian. Sumber data yang digunakan pada penelitian ini ialah buku Kemarau karya Navis dengan The dry karya Jane Harper, kedua karya tersebut dipilih karena identik judul yang memiliki arti kekeringan, dan adanya nilai moral yang terkandung pada kedua novel tersebut. Sumber data dalam penelitian ini yaitu terdiri dari dua sumber. Sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer dalam penelitian ini diambil dari novel Kemarau karya Navis dan novel The dry karya Jane Harper. Sedangkan pada sumber data sekunder merupakan pelengkap data terlengkap yang digunakan dalam penelitian ini. seperti artikel, jurnal, situs internet yang berkaitan dengan objek penelitian. Teknik pengumpulan data pada novel Kemarau karya Navis dengan The dry karya Jane Harper, dengan menggunakan teknik 1 membaca novel Kemarau karya Navis dan novel The dry karya Jane Harper, 2 teknis pustaka seperti dokumen, internet, buku, catatan, dan lain sebagainya. SeBaSa Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Mei 2022 Kemudian penulis dapat membandingkan karya pertama dan karya kedua, dengan mengulas adanya perbedaan dari kedua karya tersebut serta membuat table perbandingan pada novel Kemarau karya Navis dengan novel The dry karya Jane Harper. Adapun Langkah analisis data pada penelitian ini yaitu a. Membaca novel Kemarau karya Navis dengan novel The dry karya Jane Harper. b. Menafsirkan keseluruhan teks novel Kemarau karya Navis dengan novel The dry karya Jane Harper. c. Mencatat untuk mengelompokan persamaan dan perbedaan novel Kemarau karya Navis dengan novel The dry karya Jane Harper. d. Membuat kesimpulan dari hasil penelitian dan analisis data dalam novel Kemarau karya Navis dengan novel The dry karya Jane Harper. PEMBAHASAN Hasil pembahasan dalam penelitian ini yaitu adanya perbandingan karya sastra, serta nilai sosial yang terkandung pada karya sastra tersebut. Pada novel “Kemarau” karya Navis dengan novel “The Dry” karya Jane Harper sangat berbeda, namun mengenai unsur sosial. Pada unsur sosial peneliti membandingkan karya sastra dengan penulis lokal, lalu dibandingkan dengan penulis luar negeri. Nilai moral merupakan perilaku baik atau buruknya seseorang pada lingkungan sekitar, yang berdampak pada nilai kehidupan terutama pada kalangan sosial. Pada nilai moral dalam novel Kemarau karya Navis dengan The dry karya Jane Harper memiliki pesan moral serta dapat melihat pentingnya iman yang kuat dalam berperilaku dalam keluarga maupun lingkungan sosial. Pada novel “kemarau” karya Navis, menceritakan mengenai pola pikir masyarakat di kampung dengan usaha dalam mencapai sesuatu dan hubungan dengan sesamanya. Pada tokoh dan penokohan, tokoh Sutan duano merupakan orang yang taat akan agama dan juga seseorang yang rajin dan bijaksana, tokoh Gudam ialah orang yang pemberani, serta percaya diri dan mudah terpengaruh. Tokoh Acin ialah anak yang patuh pada orang tua. Pada novel Kemarau, alur cerita mengenai konflik terhadap kekeringan yang melanda, serta misteri yang terjadi akibat adanya kekeringan. Pada novel tersebut, memiliki nilai moral bagi pembacanya. Nilai moral yang terkandung memilki makna tersendiri, untuk saling membantu, serta gotongroyong untuk menyelesaikan masalah. Adanya pemikiran yang logis sebelum bertindak. Pada judul novel tersebut, sangat jelas memilki arti kemarau. Memilki halaman yang cukup tebal. Alur cerita memilki keunikan tersendiri. Novel Kemarau karya Navis, bukan novel terjemahan. Sedangkan pada novel kemarau, menceritakan musim kemarau yang berkepanjangan. Novel Kemarau, menggambarkan adanya SeBaSa Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Mei 2022 kekeringan yang melanda pada sebuah daerah, namun dengan kekeringan secara alamiah. Sedangkan pada novel kemarau, cocok pada semua kalangan. Karena tidak adanya unsur tragis pada alur cerita. Novel “Kemarau” karya Navis menceritakan mengenai seorang laki-laki yang berusia 50 tahun, lalu datang pada sebuah perkampungan bertujuan untuk merubah pola pikir masyarakat serta kehidupan masyarakat kampung. Laki-laki yang bernama Sutan duano berusaha mengubah pola pikir masyarakat yang membeku, serta pola pikir masyarakat yang masih berpikiran bahwa tidak ada gunanya usaha dan selalu putus asa. Berdampak setiap anggota masyarakat kurang terjalin. Nilai-Nilai Sosial dalam novel “Kemarau” Dalam penelitian ini, penulis memaparkan beberapa nilai-nilai sosial dalam novel “Kemarau” karya Navis, yaitu sebagai berikut 1. Nilai hakikat hidup manusia. Pada analisis ini, mengenai bagaimana masyarakat menganggap hidup itu buruk sehingga mencoba memperbaiki taraf kehidupannya dengan sebuah usaha baru. 2. Nilai hakikat hubungan manusia dengan alam sekitar. Pada analisis ini, sangat terlihat jelas bahwa hakikat manusia dengan alam sekitar sangat erat. “Buat apa kita payah- payah mengangkut air danau. Entah lusa, entah sebentar lagi tuhan menurunkan hujan. Sebagai petani, kita telah mengerjakan sawah kita. Kemudian kalau sawah itu kering karena hujan tak turun, tuhan lah yang punya kuasa kita sebagai umatnya, lebih baik menyerah dan berserah diri”. Pada kutipan di atas, sangat terlihat jelas bahwa manusia dengan alam tidak bisa dipisahkan. Nilai-Nilai Sosial dalam Novel “The Dry” Pada penelitian ini, penulis dapat memaparkan nilai-nilai sosial dalam novel “The Dry” karya Jane Harper, yaitu sebagai berikut 1. Nilai hakikat hidup manusia Pada analisis ini, mengenai hakikat hidup manusia yang terdapat pada novel The Dry sangat tidak ada, bahkan sifat memanusiakan manusia pun tidak ada, adanya pembunuhan pada keluarganya sendiri. Hal ini mengakibatkan kurangnya nilai sosial terhadap hakikat hidup manusia. 2. Nilai hakikat hubungan dengan manusia dengan sesamanya, pada novel The Dry karya SeBaSa Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Mei 2022 Jane Harper tidak ada sama sekali, hanya mengenai dendam yang harus dibalaskan, pada dasarnya manusia sangat membutuhkan manusia yang lainnya, namun pada tokoh Falk berbeda. Pada novel The Dry, alur cerita mengenai konflik antara keluarga. Pada novel tersebut mengenai misteri adanya pembunuhan terhadap saudaranya sendiri. Pada novel tersebut memilki nilai moral bagi pembacanya. Nilai moral yang terkandung memiliki makna tersendiri untuk saling menyayangi sesama saudara dan saling melindungi. Pada judul novel tersebut, memilki arti kekeringan/kemarau. Memiliki halaman yang cukup tebal. Alur cerita memilki keunikan tersendiri. Novel The Dry Karya Jane Harper, merupakan novel terjemahan. Pada novel tersebut, menceritakan misteri adanya pembunuhan yang secara terus menerus. Novel The Dry menggambarkan bahwa kekeringan pada novel tersebut merupakan, kekeringan pada iman, serta emosi yang tidak terkontrol. Kekeringan tersebut secara unsur biologis pada setiap tokoh yang diceritakan. Pada novel tersebut, tidak cocok untuk semua kalangan, karena adanya unsur tragis pada setiap alur cerita. Pada hasil pembahasan ini, peneliti hanya melihat unsur alur cerita secara keseluruhan, serta menjelaskan setiap karya tersebut. Adanya perbandingan yang sangat terlihat pada, alur cerita, maupun kisah yang ada pada perbandingan karya sastra tersebut sangat bertolak belakang, namun dengan adanya perbandingan karya sastra kita dapat melihat nilai moral yang terkandung dalam setiap perbedaan yang ada. Perbandingan dapat dilihat pada table berikut ini Tabel 1. Perbedaan Alur dan Kisah Novel The Drya dan Novel Kemarau Novel The Dry Karya Jane Harper, merupakan novel terjemahan. Novel Kemarau karya Navis, bukan novel terjemahan. Pada novel tersebut, menceritakan misteri adanya pembunuhan yang secara terus menerus. Sedangkan pada novel kemarau, menceritakan musim kemarau yang berkepanjangan. Novel The Dry menggambarkan bahwa kekeringan pada novel tersebut merupakan kekeringan pada iman, serta emosi yang tidak terkontrol. Kekeringan tersebut secara unsur biologis pada setiap tokoh yang diceritakan. Novel kemarau, menggambarkan adanya kekeringan yang melanda pada sebuah daerah, namun dengan kekeringan secara alamiah. Pada novel tersebut, tidak cocok untuk semua kalangan, karena adanya unsur tragis pada setiap alur cerita. Sedangkan pada novel kemarau, cocok pada semua kalangan. Karena tidak adanya unsur tragis pada alur cerita. SeBaSa Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Mei 2022 Tabel 2. Persamaan Alur dan Kisah Novel The Drya dan Novel Kemarau Pada novel The Dry, alur cerita mengenai konflik antara keluarga. Pada novel tersebut mengenai misteri adanya pembunuhan terhadap saudaranya sendiri. Pada novel tersebut memilki nilai moral bagi pembacanya. Pada novel Kemarau, alur cerita mengenai konflik terhadap kekeringan yang melanda, serta misteri yang terjadi akibat adanya kekeringan. Pada novel tersebut, memiliki nilai moral bagi pembacanya. Nilai moral yang terkandung memiliki makna tersendiri untuk saling menyayangi sesama saudara dan saling melindungi. Nilai moral yang terkandung memiliki makna, untuk saling membantu, gotong-royong untuk menyelesaikan masalah. Serta pemikiran yang logis sebelum bertindak. Memilki halaman yang cukup tebal Memilki halaman yang cukup tebal. Alur cerita memilki keunikan tersendiri. Alur cerita memilki keunikan tersendiri. Pada novel “The Dry” karya Jane Harper, merupakan novel yang sangat misterius bagi pembacanya penuh dengan misteri, banyaknya hal-hal palsu dan kebohongan dalam novel tersebut. Pada novel “The Dry” karya Jane Harper mengenai tragedi pembunuhan yang penuh dengan misteri, dalam keluarga adanya kebohongan, serta pengkhianatan. Sebuah kisah yang memiliki alur campuran, maju dan mundur. Pemilihan latar waktu dan tempat membuat pembaca tetap merasakan Susana misteri, Jane Harper berhasil membuat imajinasi pembaca sampai dengan alur cerita yang diberikan. SIMPULAN Kesimpulan pada penelitian ini, bahwa novel “Kemarau” karya Navis dan novel “The Dry” karya Jane Harper adanya persamaan mengenai nilai sosial, serta adanya kesamaan pada judul novel. Namun terlepas dari itu tentunya banyak sekali perbedaan yang terjadi. Pada proses membandingkan sebuah karya sastra lokal dengan karya sastra luar, sangat berbeda. Unsur sosial pada karya lokal lebih bisa terarah, sebaliknya dengan unsur sosial pada novel luar lebih nyata. Pada kedua karya tersebut sangatlah memiliki pesan yang tersirat di dalamnya, terutama pada unsur sosial. Setiap penulis memilki gaya serta ciri khasnya masing-masing. Maka dari itu dengan adanya perbandingan karya sastra kita menjadi tahu bahwa setiap penulis memilki daya Tarik sendiri untuk menghasilkan sebuah karya, dan dengan adanya perbandingan kita mengetahui persamaan yang ada pada karya yang dibandingkan. DAFTAR PUSTAKA Agus Nuryatin, Suseno, Ayu Oktafiyani. 2017. Transformasi Makna Simbolik Mihrab Pada Novel Ke Filma Dalam Mihrab Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy Kajian Ekranisasi. Jurnal Unnes. 6 3. 2017. SeBaSa Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Mei 2022 Anggradinata. 2020. Model Kajian Sastra Bandingan Berperspektif Lintas Budaya Studi Kasus Penelitian Sastra di Asia Tenggara. 2020, 79-81. Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta Balai Pustaka. Dipiwarawiri. 2017. Review Buku The Dry kemarau. buku/indonesia-dan- terjemahan/38- review-buku-the- dry-kemarau-jane- harpe. Diakses tanggal 03 November 2021. Faruk. 2017. Pengantar Sosiologi Sastra dan Strukturalisme Genetik sampai Post-modernisme. Yogyakarta PUSTAKA PELAJAR. Firdauzi Nur Sita, Hana Septiana Jamal, Dian Hartati. 2021. Kajian Sastra Banding Dengan Novel Salah Asuhan Dengan Novel Layla Majnun Pendekatan Psikologi Sastra. 2021, Vol 5, 2. Galang Garda Sanubari, Titik Maslikatin, Heru Saputra. 2021. Kajian Ekspresif Terhadap Novel Kemarau Karya Navis. 2021, Vol 22, 24-31. Guru, A. T. J., Hidup, P., Kemarau, M. D. N., & Navis, K. A. Humaniora Dan Era Disrupsi. Vol. 1, No. 1, Oktober 2020. Harper, Jane. 2017. The Dry. Edisi Terjemahan. Gramedia Pustaka Utama Autralian. Ilahi, Resmi. Analisis Nilai-Nilai Sosial Novel Kemarau Karya Navis Dalam Tinjauan Sosiologi Sastra, 1-24/. Nurgiyantoro, Burhan. 2015. Teori Pengkajian Fiksi. Edisi 11, Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Navis, 2003. Kemarau. Edisi 6. Grasindo. Jakarta. Nurhasanah, Een. 2014. Pengantar Kajian Kesusastraan. Karawang Diktat. Nursalim, M. P., Aryani, A., & Hayati, E. 2020. Bahasa Indonesia. Ratna, Nyoman Kutha. 2013. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta PustakaPelajar Sugiyono. 2018. Metode Penelitian Kombinasi Mixed Methods. Bandung Alfabeta. Sugiyono, 2011. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung Alfabeta. Wiyatmi. 2013. Sosiologi Sastra. Jakarta Kanwa Publisher. ... Novel bersifat imajinatif dan berfungsi sebagai penghibur bagi para penikmat atau pembaca oleh seluruh kalangan Nitami & Hartati, 2022. Gambaran kehidupan manusia dalam suatu zaman dapat tersajikan pada novel sehingga terlihat seperti realita masyarakat. ...Shabrina Amelia Mubiina AHNur Aini PuspitasariPenelitian ini bertujuan untuk menjelaskan kritik sastra psikologi dalam mengungkapkan kecenderungan untuk aktualisasi, pengembangan diri manusia dewasa. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dan teknik analisi isi. Pendekatan yang digunakan teori kritik sastra psikologi Carl Rogers. Analisis data dilakukan dengan mencatat kutipan dalam novel Relung Rasa Raisa yang mengandung kritik psikologi sastra, mengumpulkan data berdasarkan instrument penelitian yang telah ditemukan ke dalam tabel data dan terakhir menganalisis data yang sudah dipilah berdasarkan teori Carl Rogers. Adapun hasil yang diperoleh dari penelitian ini yaitu analisis kejiwaan pada novel Relung Rasa Raisa karya Lea Agustina Citra meliputi; 1 konsep aktualisasi diri berupa mewujudkan cita-cita tokoh 2 pengembangan konsep diri berupa tokoh mampu menerima kondisi yang terjadi 3 Konsep manusia dewasa pada novel ini yaitu Raisa dapat menjalani kehidupan dan memanfaatkan peluang yang ada dengan tekad kuat. Adapun kritik terhadap novel Relung Rasa Raisa yaitu terdapat pada kecenderungan untuk mengaktualisasi tokoh Raisa yang sudah tidak mempelajari bahasa Jerman karena kecewa atas diri sendiri. Lalu pengembangan konsep diri pada Raisa yang mudah berbohong karena terdapat pengaruh dari orang tua. Manusia dewasa pada novel ini terdapat penilaian pada tokoh Raisa yang tidak mampu mengelola emosi dengan cara mengepalkan tangan dan labil dalam Kunci Kritik Sastra, Novel Relung Rasa Raisa, Psikologi SastraFirdauzi Nur SitaHana Septiana Jamal Dian HartatiSastra lahir dari masyarakat, kemudian besar, dan berkembang di masyarakat. Sastra bukan hanya dinikmati dari keindahannya saja, bentuknya, isinya, pentasnya, alunan-alunan yang mengirinya. Melainkan sastra dapat meninjau seberapa jauh manusia berekspresi, melihat dan merasakan kesamaan dan perbedaan sudut pandang, dan makna sastra itu sendiri tiada berbatas zaman, serta melibatkan segala macam ilmu. Sastra Bandingan merupakan cabang ilmu sastra yang mengkaji karya sastra dalam beragam bentuk, fungsi, dan makna. Artikel ini mencoba meninjau dari aspek Psikologi Sastra akan dua karya sastra yang dibandingkan yakni novel yang berjudul "Salah Asuhan" karya Abdul Moeis dengan novel yang berjudul "Layla Majnun" karya Syaikh Nizami. Teori psikologi yang digunakan ialah teori Sigmund Freud 1923, ada tiga unsur kepribadian dalam teori psikoanalisis yaitu Id, Ego, dan Superego. Id merupakan sistem kepribadian yang asli, dibawa sejak lahir. Saat dilahirkan, id berisi semua aspek psikologi yang diturunkan seperti insting, impuls, dan drives. Dari id ini kemudian muncul ego dan superego. Ego beroperasi mengikuti prinsip realita. Sedangkan, superego berkaitan dengan kekuatan moral dan etika dari kepribadian yang beroperasi, memakai prinsip idealistik, sebagai lawan dari id dan ego. Tinjauan ini dimaksudkan guna meneliti kejiwaan atau psikologis tokoh utama dari kedua novel tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif. Populasi dalam penelitian ini adalah dua novel di di atas. Sampel di sini adalah ujaran narasi ataupun ujaran dari tokoh kedua novel tersebut. Hasil penelitian ini berupa ujaran narasi atau ujaran tokoh utama yang berkenaan dengan id, ego, dan superego pada kedua novel tersebut yang kemudian dideskripsikan dengan interpretasi. Kata Kunci kajian bandingan, psikologi sastra, salah asuhan, layla majnunAsia DiTenggaradi Asia Tenggara. 2020, 79-81. Sastra Sebuah Pengantar RingkasSapardi DamonoDjokoDamono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta Balai T J GuruP HidupM D N KemarauK A NavisGuru, A. T. J., Hidup, P., Kemarau, M. D. N., & Navis, K. A. Humaniora Dan Era Disrupsi. Vol. 1, No. 1, Oktober Dry. Edisi Terjemahan. Gramedia Pustaka Utama AutralianJane HarperHarper, Jane. 2017. The Dry. Edisi Terjemahan. Gramedia Pustaka Utama NurgiyantoroNurgiyantoro, Burhan. 2015. Teori Pengkajian Fiksi. Edisi 11, Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Navis, 2003. Kemarau. Edisi 6. Grasindo. NurhasanahNurhasanah, Een. 2014. Pengantar Kajian Kesusastraan. Karawang Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta PustakaPelajar SugiyonoNyoman RatnaKuthaRatna, Nyoman Kutha. 2013. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta PustakaPelajar Sugiyono. 2018. Metode Penelitian Kombinasi Mixed Methods. Bandung Penelitian Pendidikan Pendekatan KuantitatifSugiyonoSugiyono, 2011. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung Alfabeta.
NovelKemarau merupakan karya sastra yang secara historis muncul dalam bentuk cerita bersambung yang dimuat dalam Harian Res Publica, Padang, tahun 1964. [3] Oleh Penerbit Nusantara, Bukittinggi, karya tersebut diterbitkan dalam bentuk novel, yang kemudian diolah lagi oleh Penerbit Dunia Pustaka Jaya, Jakarta, tahun 1997, dan mulai tahun 1992
Ketika nama sastrawan Ali Akbar Navis atau AA Navis disebut, kita mungkin akan langsung mengingat "Robohnya Surau Kami". Cerpen karangan Navis yang terbit pertama kali di majalah Kisah pada 1955 itu kemudian dikenal luas masyarakat. Soalnya, cerpen itu bukan hanya mendapat apresiasi positif dari pembaca dan pengamat sastra, tapi juga kontroversial karena dinilai mengejek Islam oleh beberapa tahukah kamu bahwa dua tahun kemudian Navis menulis cerpen lain yang juga mendulang lebih banyak kontroversi setelah diterbitkan harian Nyata di Bukittinggi dan majalah Siasat di Jakarta? Judul cerpen itu "Man Rabuka". Saking kontroversialnya, Nyata dan Siasat sampai harus mencabut cerpen tersebut dan meminta pembaca menganggap "Man Rabuka" tidak pernah ada."Ini. Ini enak, Tuan Malaikat. Isaplah candu ini. Enak ini. Reguklah tuak ini. Sedap ini. Lihatlah gambar-gambar ini, alangkah cantik-cantiknya wanita ini, Tuan Malaikat. Inilah surga, Tuan Malaikat."Ali Akbar Navis pernah mengikuti Konferensi Pengarang Asia-Afrika di Denpasar, Bali pada 1963. Foto Oey Hay Djoen/ISSI/ ucapan Jamain, tokoh utama dalam cerpen "Man Rabuka", kepada malaikat di alam kubur. Dalam cerpen karangan Navis ini terjadi percakapan antara malaikat dan dua jasad bersaudara, Jamain dan Jamalin. Semasa hidupnya, tabiat dua bersaudara ini bak bumi dan langit. Jamain hidup bergelimang dosa, sedangkan Jamalin yang alim lekat dengan ibadah .Secara harfiah, man rabbuka berarti "Siapa Tuhanmu?". Dalam ajaran Islam, pertanyaan ini akan ditanyakan malaikat kepada manusia di alam kubur. Namun, Jamain dalam kisah “Man Rabuka” malah mengartikan pertanyaan malaikat itu "Apa bekalmu?". Dan, karena ia dikubur bersama peti berisi candu, tuak, gambar porno, maka Jamain mengajak malaikat untuk menikmati barang-barang haram cerita, malaikat kemudian terbujuk dan terlena. Ia bahkan marah besar saat botol tuak milik Jamain sudah kosong. Malaikat lalu menendang Jamain dengan kaki kanan, sehingga ia melayang ke surga. Sementara Jamalin kena tendang kaki kiri malaikat sampai ia mendarat di kumpulan cerpen "Robohnya Surau Kami".Berkat imajinasi Navis yang kreatif dan berani, cerpen "Man Rabuka" jadi kental dengan kritik tajam sekaligus jenaka serta satire. Namun, kalangan umat Islam menilai cerpen itu sangat melecehkan agama Islam. Setelah dicabut dan dianggap tidak ada oleh harian Nyata dan majalah Siasat, "Man Rabuka" akhirnya hilang ditelan bumi. Cerpen ini juga tak pernah dibahas dalam sastra setengah abad kemudian, Ismet Fanany, dosen dan peneliti Deakin University di Australia, berhasil menemukan cerpen "Man Rabuka" di edisi majalah Siasat yang tersimpan dalam microfiche lembaran film 10 x 15 sentimeter di perpustakaan Monash University, Melbourne, analisa Ismet, seperti dikutip majalah Tempo, cerpen tersebut hilang karena tiga sebab. Pertama, banyak orang menganggap "Man Rabuka" memberi gambaran tidak baik tentang Islam. Kedua, cerpen ini diduga lanjutan dari "Robohnya Surau Kami" yang juga dinilai melecehkan Islam. Ketiga, cerpen ini terbit dalam suasana Sumatera Barat menentang kebijakan pemerintah Soekarno. Buktinya, pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia PRRI terjadi dua bulan pasca terbitnya "Man Rabuka".AA Navis bersama Gubernur DKI Ali Sadikin. Foto Yayasan LontarMenurut Ismet, "Man Rabuka" adalah korban "Robohnya Surau Kami" yang terbit lebih dulu dua tahun sebelumnya. "Sewaktu 'Robohnya Surau Kami' terbit, berbagai kalangan menganggap Navis mengejek Islam dan malah ada yang menuduhnya komunis atau Murba. Ketika 'Man Rabuka' terbit, tuduhan dan ejekan orang jauh kebih kuat," tulis Ismet."Sejak itu 'Man Rabuka' tidak pernah muncul lagi dalam antologi cerpen Navis yang banyak sekali jumlahnya. Sedangkan 'Robohnya Surau Kami' sepertinya dimaafkan dan muncul dalam berbagai antologi," kata Ismet dalam kolomnya "Mengumpulkan Cerpen Navis yang Terserak" di majalah Tempo edisi 4 September sebagai anggota Partai Komunis Indonesia PKI terhadap Navis dibenarkan Aksari Jasin, 86 tahun. Menurut istri Navis ini, setelah "Robohnya Surau Kami" terbit, mereka pernah didatangi polisi. "Nanti jika Papi tidak pulang, cari saja ke kantor polisi," kata Aksari teringat ucapan mendiang suaminya saat Navis bersama istri, Aksari Jasin. Foto Majalah TempoTak hanya itu. Pada 8-11 Agustus 1963, Navis mengikuti Konferensi Pengarang Asia-Afrika di Denpasar, Bali. Sepulang dari acara itu, ia dicap komunis dan dijauhi teman-teman pengarang di Sumatera Barat. Sebab, konferensi tersebut dihadiri para pengarang berhaluan kiri, seperti Pramoedya Ananta Toer dan Agam pengarang Islam, Navis membantah tudingan itu dengan menulis cerpen "Kemarau di Maninjau". Isi cerpen itu menegaskan pandangan keislaman Navis dan juga soal humanisme yang terkontrol oleh agama. Baginya, humanis yang tidak terkontrol oleh keimanan adalah "Robohnya Surau Kami" sendiri terinspirasi dari pengalaman nyata Navis saat pulang ke Padang Panjang dan melewati surau tempat belajar mengajinya semasa kecil. Surau itu sudah runtuh. Ia lalu bertanya kepada seorang perempuan yang tinggal dekat situ. Kata perempuan tersebut, sejak kakek garin-nya dalam bahasa Minangkabau, garin berarti penjaga masjid, red meninggal, tidak ada lagi yang mau Navis lahir pada 17 November 1924 di Kampung Jawa, Kota Padang Panjang, Sumatera Barat. Ia adalah anak tertua dari 12 bersaudara. Ayahnya Nafis Sutan Marajo dan ibunya bernama Sawiyah. Jiwa seninya sudah terlihat sejak ia masih kecil. Ia menyukai kerajinan tanah liat dan antologi ini memuat 68 cerpen karangan AA remaja, ia bergabung dalam grup kesenian Barisan Seni Bangsa yang rajin mementaskan sandiwara, musik, dan melakukan pameran seni lukis. Ia juga mendirikan kelompok Seniman Muda Indonesia dan masuk dalam Sumatera Symphony Orchestra sebagai pemain berusia 28 tahun, Navis sempat tiga tahun bekerja sebagai pegawai pemerintah di Departemen Pendidikan di Bukittinggi. Di kala senggang, pria humoris ini menulis cerita dan sandiwara dengan mesin ketik di kantornya untuk disiarkan di Radio Republik Indonesia otobiografinya, Navis Satiris dan Suara Kritis dari Daerah 1994, Navis menyatakan bahwa menulis karya sastra merupakan bentuk ekspresi kegiatan intelektualnya. Ia selalu menyoroti kehidupan sosial, manusia, dan kemanusiaan dalam setiap karya sastranya. Ia juga setia menjadikan Minangkabau sebagai ruh dari karya-karyanya baik dalam wujud tokoh, perilaku, maupun lingkungan buku otobiografi ini, AA Navis juga mengungkapkan visi di "Man Rabuka", Navis juga mengangkat cerita tentang kehidupan sebelum dan setelah mati dalam cerpen "Dokter dan Maut", yang mengisahkan proses kematian lewat dialog antara Maut dan calon mayat. Begitu pula dalam cerpen "Sebuah Wawancara" yang menuturkan tentang wartawan yang bercerita kepada para nabi tentang kondisi kehidupan data Ismet Fanany, AA Navis sudah menulis 69 cerpen sampai akhir hayatnya pada 23 Maret 2003. Akan tetapi, hanya 68 cerpen yang berhasil ditemukan untuk dikumpulkan dalam buku Antologi Lengkap Cerpen Navis 2004. Satu cerpen yang masih belum ditemukan itu berjudul "Baju di Sandaran Kursi".Bagi Ismet, masa berkarya AA Navis begitu panjang. Ia juga selalu menunjukkan keberanian dan kebebasan sebagai penulis, serta senantiasa berusaha mencari kesempurnaan dalam membuat Majalah Tempo edisi 4 September 2016Sumber foto header Wikipedia/
M86Dr. 7v5q4kzaxu.pages.dev/5167v5q4kzaxu.pages.dev/5277v5q4kzaxu.pages.dev/757v5q4kzaxu.pages.dev/3927v5q4kzaxu.pages.dev/4587v5q4kzaxu.pages.dev/4197v5q4kzaxu.pages.dev/2267v5q4kzaxu.pages.dev/160
cerpen kemarau karya aa navis